CHAPTER 03

2K 242 48
                                    

Kim Namjoon tidak tahu jika hidupnya akan sekacau ini. Dianugerahi otak cerdas rupanya tidak sepenuhnya menguntungkan jika aspek hidup lain tidak secemerlang itu. Seperti... tidak memiliki kepastian hidup, hingga ia harus bergantung pada kekasihnya, Choi Haeyoung.

Jangan ditanya soal perasaan. Bagaimanapun hubungan mereka berjalan, Namjoon sangat mencintai Haeyoung lebih dari apa pun. Karena itulah pria itu memilih untuk tinggal dan bergantung dengan wanita itu dibanding tetap berada di satu atap yang sama dengan keluarganya sendiri. Bagi Namjoon, untuk saat ini hanya itu yang dapat dilakukan untuk tetap menjaga Haeyoung berada di sisinya.

"Hari ini ada jadwal wawancara kerja lagi, ya?" Haeyoung bertanya, kala dirinya bersama Namjoon sedang menyantap sarapan. Haeyoung membuat sandwich dengan isian alpukat dan plain yogurt. Namjoon menyukai jenis sarapan itu agar perutnya tetap terasa kenyang sampai tiba waktunya makan siang.

"Ya. Akhirnya aku ada kesempatan untuk ikut seleksi lebih lanjut di PF Sync. Doakan aku dapat yang terbaik di sana."

Perusahaan tempat Namjoon akan menjalani tes wawancara hari ini adalah perusahaan pengembang game yang namanya mulai dikenal sejak tahun lalu. Namjoon mencari tahu tentang perusahaan itu dan tertarik dengan visi misinya. Terlebih, perusahaan tersebut dimiliki oleh pengusaha muda yang merintis segalanya dari bawah. Bukan tipikal orang kolot yang akan mempermasalahkan pengalaman kerjanya yang minim.

"Semoga kau mendapatkan impianmu kali ini, Joon." Haeyoung tulus mengatakan pengharapannya. Jika gagal kali ini, entah kapan Namjoon akan mendapatkan undangan wawancara seperti ini lagi.

Sebenarnya jika Namjoon tidak membatasi diri dengan obsesinya, ia mungkin sudah bisa bekerja di perusahaan lain. Sayangnya, pria itu terobsesi untuk bekerja di perusahaan pengembang game. Jika ada jadwal wawancara, ia bukan hanya mempelajari kiat-kiat tertulis, tapi juga memainkan game rilisan perusahaan yang bersangkutan. Menurutnya, mengenal dengan baik produk yang dihasilkan perusahaan akan jadi poin bagus untuknya.

"Apa yang akan kau lakukan hari ini?" Namjoon bertanya. Jam kerja fleksibel dengan penghasilan bagus seperti Haeyoung terkadang membuatnya iri.

"Aku harus menyusun kurikulum pengajaran untuk siswa privat baru hari ini."

"Kau menerima siswa baru lagi?"

"Ada satu yang berhenti. Entah karena apa."

"Mungkin ibunya cemburu padamu lagi."

Haeyoung menyeringai tipis, dan bahunya terangkat singkat. Bisa jadi karena itu, sebab memang bukan pertama kalinya terjadi para Ibu malah lebih khawatir suaminya melirik Haeyoung dibanding anaknya kehilangan guru privat yang kompeten. Padahal, Haeyoung hampir tidak pernah berkomunikasi dengan para ayah dari siswanya. Paling-paling hanya tidak sengaja berpapasan.

"Aku berangkat." Namjoon selesai dengan sarapannya. "Wish me luck, Bae."

***

PF Sync terlihat lebih sepi dibanding perusahaan yang tengah membuka seleksi penerimaan karyawan baru lainnya. Saat Namjoon datang, hanya ada lima orang berpakaian nuansa hitam putih—khas para pencari kerja, lalu tambah empat orang lagi sampai sesi wawancara dimulai.

Proses wawancara dilakukan satu per satu, tidak berkelompok seperti perusahaan lainnya. Mungkin karena itulah para pencari kerja yang diloloskan sampai tahap wawancara hanya sepuluh orang.

Namjoon mendapat giliran terakhir. Entah urutan ditentukan dengan apa, padahal kalau disesuaikan dengan urutan kedatangan, harusnya ia mendapat urutan keenam. Tapi pria itu berusaha berpikir positif, mungkin dirinya adalah orang terakhir yang diloloskan di antara yang lainnya.

PORCELAINE [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now