CHAPTER 17

1K 215 55
                                    

Selama di rumahnya, Yoongi tak lantas memperlakukan Haeyoung layaknya Tuan Putri. Ia memiliki pekerjaan yang harus diurus, jadi meninggalkan wanita itu sendiri di rumah pun jadi satu-satunya pilihan yang ia miliki.

"Anggaplah seperti rumahmu sendiri. Masak apa pun jika kaulapar, ada bahan seadanya di dapur. Aku dan Jungkook jarang makan di rumah, jadi kulkas hanya dipenuhi makanan kiriman orang tua Jungkook dari Busan. Itu juga kalau masih layak makan."

Duduk di tepi tempat tidur, Haeyoung mengamati Yoongi yang tengah mematut diri di depan cermin, memakai dasi navy yang ia pilih untuk pria pucat itu. Celotehan Yoongi ia dengarkan, tapi tak menjadi fokus utamanya. Pikiran Haeyoung malah terfokus pada hal sepele cenderung tidak penting seperti, beginikah rasanya melihat pria bersiap memakai setelan jas untuk bekerja?

Selama ini Haeyoung tak mengharapkan Namjoon harus bekerja di perkantoran yang mengharuskannya memakai setelan formal setiap saat. Walau hanya memakai setelan kasual, Haeyoung tak keberatan. Mengingat bagaimana cerobohnya Namjoon—tidak tertata seperti Yoongi—pasti lucu jika hampir setiap pagi melihatnya mencari sesuatu yang lupa ditaruh di mana, sementara ia harus bergegas sebelum terlambat.

"Haeyoung."

"Hm?" Perhatian Haeyoung kini seluruhnya fokus pada Yoongi.

"Kau belum menyalakan ponselmu?"

Haeyoung menggeleng. "Belum. Seingatku, GPS ponsel belum kumatikan sebelum pingsan di toilet waktu itu. Jika kunyalakan sekarang, nanti Namjoon jadi tahu aku ada di mana."

Namjoon memang menghubungkan perangkat GPS dari ponsel Haeyoung ke ponsel miliknya. Selama ini Haeyoung harus bermain cerdik dengan mematikan pelacak di ponselnya, sebelum bermain dengan pria lain. Namjoon membiarkannya menjadi liar di kelab, tapi tidak dengan kamar hotel. Apalagi bersama pria lain.

"Ada telepon rumah di ruang tengah. Daftar nomor darurat ada di laci paling atas raknya, dan di sana ada nomorku. Jika ada sesuatu atau kau membutuhkan sesuatu, hubungi saja aku."

"Kapan pun?"

"Kapan pun. Mungkin aku hanya takkan sempat menjawab jika sedang rapat."

"Hari ini kau ada jadwal rapat?"

"Ya. Banyak. Pekerjaanku hari ini dipenuhi dengan rapat."

"Bukankah itu artinya aku tidak boleh menghubungimu?" Haeyoung mencibir. "Kalau begitu lebih baik aku minta bantuan Jungkook saja kalau butuh sesuatu."

Haeyoung tahu bahwa membawa nama Jungkook pasti akan membuahkan lirikan tajam dari Yoongi, tapi memang itu yang ia cari. Haeyoung ingin memastikan sesuatu, sebab selama ini Yoongi selalu abu-abu.

"Aku tidak akan macam-macam padanya, oke?" Haeyoung berusaha meyakinkan sedikit ragu yang Yoongi miliki. "Kau akan mengusirku jika berani menyentuhnya lagi, jadi jangan khawatir. Aku masih butuh rumah ini untuk sembunyi."

"Awas kalau sampai macam-macam!" Yoongi tetap mengingatkan.

Selesai dengan dasinya, Yoongi menyambar tas kerja dan jas yang tersampir pada sandaran kursi di dekatnya. Walau rumahnya besar dan dirinya sudah cukup sukses pada usianya saat ini, Yoongi tidak memiliki ruang pakaian khusus seperti yang ada di drama-drama. Semua barangnya disimpan dan dipakai di kamar.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanya Yoongi ketika menuruni tangga dengan Haeyoung membuntuti di belakang.

"Aku sudah mengajukan cuti lewat e-mail. Namjoon tak punya akses untuk yang satu itu, jadi aman."

"Berapa hari?"

"Seminggu. Itu jatah cuti terakhirku untuk tahun ini, dan itu tinggal tersisa tiga hari lagi."

PORCELAINE [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now