CHAPTER 10

1.6K 240 107
                                    

"Kami tidak bertengkar. Namjoon hanya mengikatku terlalu kuat."

Hoseok seakan dipaksa menyerah dalam usahanya mengerti sosok Haeyoung saat ini. Walaupun katanya itu sesuatu yang wajar, ia tetap tidak mengerti kenapa Haeyoung bisa terima-terima saja saat kekasihnya ingin mendominasi dengan cara yang tidak biasa saat keduanya bergumul di ranjang.

Pergelangan tangannya saja sampai lebam dan tergores tali yang digunakan untuk mengikatnya. Padahal tanpa diikat pun Haeyoung takkan kabur dan tetap merespons segala sentuhan serta rangsangan yang diberikan.

"Yakin tidak ada pertengkaran lagi? Sekarang dua minggu paling damai dari hubungan kalian belakangan ini."

Haeyoung mengangguk dengan senyum mengembang. "Hubungan kami sangat membaik setelah pertengkaran terakhir."

"Akan bertahan berapa lama?"

Sejak tahu bahwa Namjoon akan melampiaskan kemarahannya pada Haeyoung ketika dirinya tidak bisa mengendalikan diri, Hoseok selalu ragu apakah hubungan mereka akan bertahan lama. Namun ajaibnya, Haeyoung selalu bertahan.

"Selamanya, kuharap."

"Sampai kau mati di tangannya?"

Haeyoung melotot dan tak digubris sama sekali. Selesai mengobati, Hoseok menyingkir sebab sudah dipanggil dokter lain untuk menangani pasien darurat yang sebentar lagi akan datang. Padahal tadinya Haeyoung ingin berbincang dengan Hoseok lebih lama, sebab dua minggu selama masa damainya dengan Namjoon, ia belum bertemu sama sekali dengannya. Pun saling bertukar pesan juga jarang.

Maka selesai mengurus urusan administrasi, Haeyoung keluar dari bangsal UGD. Tujuannya setelah ini adalah apartemen Hoseok—niatnya untuk bicara dengan sahabatnya itu belum hilang—karena kebetulan Namjoon sedang ada pekerjaan sampingan dan baru akan pulang lusa.

Namun saat dirinya baru akan menyeberang ke mobilnya yang diparkir tak jauh dari pintu utama UGD, seseorang berpakaian pasien berlari dikejar seseorang berpakaian jas rapi dan gerombolan tenaga medis menghentikan langkahnya. Pasien itu tertangkap tak lama kemudian, dan dipeluk erat oleh pria berpakaian jas rapi tadi sebelum diserahkan pada para tenaga medis.

Si pasien meronta dan berteriak, semakin keras seiring semakin eratnya tangannya dicekal. Pria berjas yang memeluknya tadi mengikuti dengan langkah gontai, tapi berhenti tepat beberapa langkah di depan Haeyoung. Semakin memperjelas siapa sosoknya, yang kemudian membuat kening Haeyoung sedikit berkerut.

"Min Yoongi?"

Mata Haeyoung tidak salah. Pria itu Min Yoongi, yang dalam hitungan detik berikutnya berhasil membuat Haeyoung sedikit terbelalak kala dirinya berlutut dan menangis tanpa rasa malu sedikit pun. Kedua tangannya terkepal dan dijadikan tumpuan saat tubuhnya sedikit merunduk.

Haeyoung bisa saja mengabaikannya, pergi dan segera ke rumah Hoseok, agar Yoongi tidak perlu menyadari kehadirannya dan malah jadi malu setelahnya. Namun yang Haeyoung lakukan hanya bergeming, lalu mendekati Yoongi setelah pria itu selesai dengan tangisannya.

"Sudah menangisnya? Cepat sekali."

"Apa yang kaulakukan?" Yoongi menghapus sisa air matanya cepat-cepat.

"Melihatmu menangis."

"Apa?" Kening Yoongi berkerut samar.

"Aku baru tahu ada seseorang yang dapat menangis di tempat umum sepertimu tadi. Aku saja harus sembunyi dulu kalau mau menangis." Haeyoung mengacungkan kedua ibu jarinya. "Omong-omong, pasien tadi keluargamu?"

"Bukan urusanmu." Yoongi beranjak menjauh agar tidak terlibat pembicaraan lebih jauh dengan Haeyoung.

"Mau minum denganku?" Satu kalimat itu berhasil menghentikan langkah Yoongi kembali. "Sekarang sudah sore dan aku yakin kau tidak akan bisa konsentrasi bekerja setelah situasi ini. Mau minum di tenda pinggir jalan lagi atau kau yang menentukan tempatnya? Kali ini aku akan mendengarkan semua ceritamu."

PORCELAINE [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now