CHAPTER 07

1.5K 221 61
                                    

"Kali ini kau yang marah? Kenapa?"

Haeyoung beruntung memiliki Hoseok di sisinya. Kapan pun dirinya ingin merepotkan, pria itu selalu ada. Hanya dengan mengatakan dirinya akan menginap untuk beberapa hari, Hoseok langsung mengiyakan tanpa keraguan sedikit pun dan tahu sebabnya tanpa perlu bertanya. Lagi pula, malam itu sebelum Namjoon pulang, Hoseok berbincang dengan Haeyoung di telepon dan mengetahui jika pasangan gila itu sedang bermasalah.

"Aku telah membuktikan satu hal," kata Haeyoung. Kakinya ia angkat ke atas sofa, sementara telapak tangannya memeluk cangkir coklat hangat yang Hoseok buatkan untuknya. "Bahwa lidah bisa lebih tajam daripada pisau."

"Namjoon mengatakan sesuatu yang buruk padamu?" Hoseok yang duduk di sofa yang sama dengan Haeyoung—tanpa secangkir coklat di tangannya—semakin penasaran dengan permasalahan Haeyoung dan Namjoon yang sepertinya berbeda dari yang sebelumnya.

"Rasa rendah dirinya digunakan untuk merendahkanku. Untuk pertama kalinya. Kau tahu bagaimana selama ini aku menahan segala luka fisik yang diberikannya padaku, kau sendiri juga yang pernah menjahit lukanya."

"Dan kau tidak bisa menahan diri saat Namjoon mengatakan sesuatu yang menyinggungmu? Apa yang dikatakannya?"

Haeyoung mengulas senyum tipis. Ia mengingat sesuatu yang pernah Namjoon katakan. "Kau tahu, Seok? Namjoon tidak pernah menyukaimu. Tapi ada satu hal yang ia setujui darimu tentangku. Ketidaksukaannya akan kebiasaanku pergi ke kelab. Dia membencinya lebih darimu, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya karena aku juga menemukan kebahagiaan di sana."

Hoseok bungkam. Menunggu apa yang ingin Haeyoung katakan padanya. Ia bisa menebak beberapa hal jika dihubungkan dengan sesuatu yang ia ketahui tentang sahabatnya itu. Tapi mendengar kebenarannya secara langsung sepertinya keputusan yang lebih baik.

"Namjoon melampiaskan kemarahannya padaku seperti biasa, tapi waktu itu aku tidak tahu apa alasan dari kemarahannya. Ya... aku berbohong saat di telepon kemarin." Haeyoung menyadari perubahan sorot mata Hoseok. "Tapi aku baik-baik saja sekarang, jadi jangan ikut marah padaku. Aku bilang Namjoon menghilang beberapa hari dan baru pulang saat kau menelepon kemarin. Dia menunjukkannya. Alasan kemarahannya. Dia punya fotoku saat masuk hotel dan menuduhku jual diri."

"Apa? Jual diri? Setelah mentalnya, sekarang otaknya ikut bermasalah juga?" Hoseok tidak dapat menahan kekesalannya.

"Kenapa bawa-bawa masalah mentalnya segala?" Meski sedang marah, tetap saja yang Haeyoung bela selalu Namjoon.

"Hae, kau pasti tahu ada yang bermasalah dengan mentalnya. Dia selalu menyakitimu setiap kali bermasalah dengan pengendalian emosi yang memengaruhi tingkat rendah dirinya. Dia butuh pertolongan sebelum semakin menyakitimu lebih dari yang dilakukannya selama ini, dan itu jelas bukan darimu."

Haeyoung menyadari itu dan setelah sekian tahun melalui harinya dengan Namjoon, belum pernah sekali pun ia berani menyinggungnya. Setiap masalah—termasuk yang menyangkut mental—pasti ada penyebabnya. Masih banyak yang tidak Haeyoung ketahui tentang Namjoon dan Haeyoung pikir, yang membentuk jati diri Namjoon saat ini adalah salah satu dari sekian banyak hal yang tidak ia ketahui tersebut.

"Tapi omong-omong, untuk apa kau ke hotel?" Hoseok mengubah sisi jadi ikut mencurigainya.

"Mau menuduhku juga?"

Hoseok mendesah keras. "Hae, aku tahu semuanya. Apa yang kau lakukan di luar terutama saat kau pergi ke kelab, aku tahu semuanya. Itu yang membuatku tidak suka setiap kali tahu kau akan pergi ke tempat itu. Mungkin benar ini menjadi satu-satunya hal di mana aku dan Namjoon sependapat."

Kali ini Haeyoung bungkam. Menghindari Namjoon dengan menciptakan kebohongan kecil walau harus menjadi pemicu pertengkaran, jelas lebih mudah dibanding harus membohongi Hoseok. Tidak peduli cara apa yang digunakannya untuk berdalih.

PORCELAINE [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now