41. Saat Sinarnya Terhalau Awan

8.6K 2K 156
                                    

Harzi benar-benar tak sanggup menahan air matanya sewaktu melihat orang yang teramat ia cinta terbaring lemah tak sadarkan diri di atas brankar rumah sakit. Tungkainya lemas tak bertulang, nyeri menjalari ulu hatinya ketika melihat lebam menghiasi sekujur tubuh Kirani. Ditambah dokter yang baru saja menyatakan bahwa tunangannya itu telah jatuh koma karena cedera kepala berat yang menimpanya.

Harzi perlahan mendekat, ke arah Irene yang masih terduduk menangisi putrinya.

Irene menoleh dan langsung menarik pemuda itu ke dalam pelukan. Keduanya kembali menangis pilu, menyesali sesuatu entah apa, padahal tak ada yang bersalah dalam hal ini, semua sudah berjalan sesuai kehendak-Nya.

Harzi ikut terduduk dan meraih tangan penuh luka itu lalu menggenggamnya. Lama ia menatapi kekasihnya sembari membiarkan pikirannya melanglang hingga ke mana Harzi tak tahu. Yang dia tahu saat ini hanyalah kegagalannya menjaga Kirani.

Lagi, selalu saja begitu, mengapa Tuhan tak pernah memberinya kesempatan untuk melindungi gadis ini? Mengapa Tuhan tak pernah membuatnya mampu membuktikan janjinya pada Kirani?

"Tuhan, ini sama sekali nggak adil." Ujarnya melirih bersamaan dengan air mata yang menetesi genggaman keduanya, Harzi merunduk dalam.

"Bodoh banget aku, Ran. Harusnya aku aja yang celaka... jangan kamu. Kamu nggak boleh kenapa-napa...." Harzi mulai terisak seraya menatap harap pada sosok Kirani yang tak kunjung membuka mata. "Sayang, ayo bangun... aku mohon...."

Tak ada yang lebih menyakitkan dari pada melihat orang yang dicintai terluka, jadi wajar bila Harzi mulai menyalahkan dirinya sekarang.

Kirani koma, dan itu karena dirinya.

Entah berapa jam lamanya, Harzi sama sekali tak meninggalkan tempatnya dan tak menghiraukan orang-orang yang datang untuk menjenguk Kirani. Bahkan saat Kanaka menyuruhnya untuk beristirahat, Harzi tetap bergeming dengan tatapan yang enggan terlepas dari kekasihnya.

"Abang belum makan, abang juga baru sembuh. Nanti tante marah kalau abang sampai sakit lagi."

"Gue nggak apa-apa." Jawab Harzi lemah. 

Kanaka pun jadi dibuat frustasi karenanya. "Seenggaknya makan dulu lah, Bang. Serius deh, Kak Kiran sendiri nggak akan senang kalau ngelihat abang begini sekarang."  

Pada akhirnya, Harzi mau diajak pergi walau sebentar. Usai ditemani Kanaka makan di kantin rumah sakit, Harzi dituntun ke parkiran untuk menemui orang-orang yang sudah menungguinya. Termasuk Auri yang langsung memeluk Harzi sembari berurai air mata begitu melihat keadaan si pemuda yang tampak pucat dan kosong bak mayat hidup.

"Kak Harzi, aku minta maaf. Harusnya hari ini aku yang nemenin dia ke toko bunga...."

Harzi yang melihat, hanya mengangguk dan menepuk pelan punggung Auri sebelum gadis itu kembali dibawa oleh Jevano untuk ditenangkan. Sementara Jaffie yang juga berada di sana memilih langsung menariknya untuk masuk ke dalam mobil, dia tahu benar kalau sobatnya ini belum puas menumpahkan kesedihannya.

"Nggak usah ngomong. Nangis aja, nggak apa-apa." Dan seperti tebakannya, pertahanan Harzi seketika runtuh lagi.

Jaffie kenal betul bagimana Harzi. Sifat nakal dan petakilannya selam ini hanya dipakai untuk menutupi serapuh apa dia yang sebenarnya. Dan kelihatannya, Harzi memang sedang berada jauh di titik terendah dalam hidupnya.

Namun fakta yang membuat Jaffie terkejut adalah, ini pertama kalinya dia melihat Harzi menangisi wanita selain Ibundanya. Harzi pernah kepergok sekali, menangis karena Joya yang marah besar dan berucap bahwa dia menyesal karena telah melahirkan Harzi ke dunia. 

make you mine [✔]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant