40. Bunga untuk Harzi

8.3K 1.7K 149
                                    

Harzi sungguh benar menepati janji. Bukan janji menikahi Kirani secepatnya, namun janji untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik dan pekerja keras.

Pasalnya sejak kembali dari kegiatan magangnya, Harzi jadi banyak berubah dari segi visi, misi, dan ambisi. Entah tiba-tiba berkata akan membuka usaha sendiri, mencari kerja sambilan, bahkan pernah suatu kali, Kirani dibawa berkencan ke tempat seminar kewirausahaan.

Jujur, Kirani tentu bangga. Tapi bagaimana ya, di umur Harzi yang masih semuda ini juga pasti punya batas energi. Kalau kata Ayah Jo sih, "Pendidikan itu masih nomor satu, jangan dulu terlalu serius. Toh, Kirani juga belum nodong kamu buat nikah besok."

Tapi mereka juga sudah tahu bagaimana keras kepalanya seorang Harzi. Yang kalau dinasehati, anaknya cuma bisa haha-hehe, masuk telinga kanan, keluar--ya gas kerja lagi.

Meski niatnya baik dan amat positif, tapi tetap saja membuat Kirani maupun keluarga besar khawatir. Hingga imbasnya, lelaki itu kini harus dirawat di rumah sakit setelah didiagnosa gejala tifus oleh dokter.

"Kan." Ucap Kirani begitu menemui tunangannya terbaring lemas di atas brankar rumah sakit.

Harzi yang tengah bermain game di ponselnya berubah cengar-cengir lalu memanggil Kirani agar mendekat. Buat si gadis greget hingga langsung merebut benda itu untuk disimpan di atas nakas.

"Batu sih, kalau dibilangin."

"Kan buat kamu juga, sayang."

"Udah lah, capek bahasnya." Pungkas Kirani memilih duduk dan mulai mengupasi buah-buahan yang dibawa mamanya semalam. "Untung, ya. Untung aja belum parah."

Mendengar Kirani mendumel, Harzi pun hanya mampu mempertahankan cengiran bodohnya. "Ayang nih bawel banget, nggak sayang apa sama aku?"

Kirani kontan berdengkus. "Diem apa ginjalnya kutusuk pisau buah, nih?"

Harzi bisa apa sih, selain terus tertawa juga tersenyum bila Kirani berada di sekitarnya. Atmosfernya akan selalu jadi menyenangkan kalau Kirani bersamanya, soalnya gadis itu tak pernah gagal membuatnya bahagia.

Bahkan di saat Kirani menangis karenanya, Harzi akan bersyukur sebab telah diberi pasangan sesempurna Kirani, yang sukarela memikirkan dan mengkhawatirkan dirinya. Persetan dengan kalimat kalau mencinta jangan terlalu. Harzi sudah terlanjur menyayangi jodohnya.

Jadi tidak salah, kan?

"Kiraniiiiii, siniiiii, aku mau pelukkkk!" Ubahnya merengek sewaktu ditinggal Kirani duduk di sofa.

"Mau nugas dulu bentar. Kamu mending tidur, nanti dibangunin kalau udah jam makan."

"Tidak mau!" Balasnya cemberut. "Sayaangggg aku lagi sakit loh ini?????"

"Emang kalau kamu sembuh, tugas aku bisa selesai?"

Harzi lantas mencebik keras dan membalik badannya memunggungi Kirani.

"Ya udah lah! Pokoknya kita kemusuhan!!!!"

Setelah seminggu berdiam diri di rumah sakit, Harzi akhirnya dibolehkan pulang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Setelah seminggu berdiam diri di rumah sakit, Harzi akhirnya dibolehkan pulang. Ayah dan Ibunya hadir di sana, namun yang berjasa menjaganya selama dirawat justru tak terlihat batang hidungnya.

"Kirani nggak ada ngabarin kamu?"

Tanya Joya yang Harzi balas dengan gelengan lemah.

"Mungkin lagi sibuk."

Harzi juga inginnya berpikir begitu. Tapi sungguh, tak biasanya gadis itu tidak berkabar.

"Ma, Harzi mau ke Kiran."

"Nggak perlu, biar Mama aja yang nelepon dia suruh ke rumah."

Di sisi lain, Kirani sibuk merutuki nasib sialnya karena ponsel yang malah kehabisan daya. Sekarang posisinya masih di depan toko bunga, dia baru selesai membeli bunga untuk si pemilik cengiran secerah mentari itu. 

Kedengaran alay, tapi Kirani suka.

Lalu lintas di sore hari sungguh padat merayap, Kirani sampai pusing karena menghirup terlalu banyak polusi, dia juga kelelahan setelah terjaga semalamam demi menemani Harzi yang rewel sembari mengerjakan tugas. Untung saja gerd-nya tidak ikutan kambuh.

Seingatnya, lampu lalu lintas masih menyala merah saat dia menyebrangi jalan. Namun entah kepentingan mendesak seperti apa yang pengendara itu punya, sampai nekat menerobos lampu merah dan menghantam tubuh Kirani hingga terpental sejauh berpuluh meter di perempatan jalan.

Kirani benar-benar tak merasakan apapun untuk beberapa saat. Barulah ketika dirinya melihat bunga matahari yang digenggamnya berubah merah pekat, Kirani sadar-

Kalau dirinya sedang di ambang hidup dan mati.

Harzi menatap ponselnya kecewa, mengapa di saat-saat seperti ini Kirani malah menghilang?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Harzi menatap ponselnya kecewa, mengapa di saat-saat seperti ini Kirani malah menghilang?

Dia menekan kontak itu sekali lagi, saat riuhnya sirine menyapa pendengarannya. Harzi bahkan sempat melirik ambulans yang sedang melaju ke arah rumah sakit yang baru saja mereka tinggalkan.

Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi-

"Ayah?"

"Kenapa, Zi?"

"Anter Harzi ke rumah Kirani, sekarang." 

Pinta si putra dengan nada gelisah. Jo pun merasakan ada sesuatu yang salah, hingga akhirnya dia setuju dan menuruti permintaan Harzi. Mengabaikan omelan sang istri yang menyuruh mereka untuk langsung pulang ke rumah saja.

"Jadi Kirani belum pulang?"

Kanaka menggeleng singkat. "Gue kira lagi sama lo, Bang?"

"Hp-nya---" Jawab Harzi terpotong nada dering dari ponselnya sendiri, matanya membola sesaat begitu melihat kontak Kirani di sana. "Halo? Kiran? Kamu di mana?"

"Halo? Mbak? Mas?!"

Kening Harzi lantas berkerut. "Ini siapa?"

Pun dia bisa mendengar suara orang yang meneleponnya kini bergetar hebat. "Mohon maaf sebelumnya, tapi yang punya Hp baru aja kecelakaan. Saudara saya yang nabrak, Mas. Sekarang kami di-"

Harzi membeku.

"Bang! Jadi Kak Kirani di mana?" Sentak Kanaka saat menyadari perubahan raut Harzi yang mendadak pucat.

"Ambil kunci motor."

"Kenapa? Kak Kirani kenapa?!"

"D-dia...." Harzi menelan ludahnya susah payah. "Kirani kecelakaan."

make you mine [✔]Where stories live. Discover now