9. Kalau Sungguhan Sayang

Start from the beginning
                                    

Inilah alasan utama kenapa Seokmin selalu berbohong jika itu mengenai Jisoo. Biarlah. Mau diapakan lagi? Dengan pasrah Seokmin turut meninggalkan kantin usai menghabiskan es kopinya yang sudah terasa hambar. Mendatangi motor. Entah pergi ke mana, yang penting tidak langsung pulang ke rumah. Ibu Seokmin tidak akan tinggal diam begitu melihat anaknya bersantai di dalam kamar. Menyodorkan banyak pekerjaan rumah. Apalagi sebelum berangkat kuliah tadi wastafel dapur sedang rusak.

"Kamu masih marah pada Seokmin?" tanya Mingyu, membawakan nampan berisi makanan pesanannya dan Hao

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kamu masih marah pada Seokmin?" tanya Mingyu, membawakan nampan berisi makanan pesanannya dan Hao. Puas berkeliling mencari buku, keduanya bersinggah di salah satu restoran cepat saji.

Hao mengangkat bahunya sekali. Asik berkirim pesan dengan teman sekelompoknya. Memberi kabar gembira. Buku yang mereka perlukan sudah berhasil didapat. "Aku hanya kesal."

"Kesal kenapa? Bukankah bagus kalau dia sudah punya pacar? Itu kabar bagus. Sudah sangat lama Seokmin tidak punya pacar. Harusnya kita juga ikut senang."

Entah kenapa pernyataan Mingyu membuat rasa lapar Hao menguap. Rasa kesalnya jadi berlipat ganda. "Tapi aku juga punya hak untuk tahu apa yang terjadi terhadapnya. Kamu lupa kalau kita sahabatnya? Apa kita sudah tidak dianggap sebagai sahabat lagi sampai setertutup ini?"

Mingyu menatap Hao dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan. Bahkan Mingyu sendiri tidak tahu apakah harus menangis atau malah tertawa mendengarnya. Ucapan Hao terlalu ambigu. Memiliki banyak makna. Dan salah satu diantaranya terasa sangat menyakitkan. "Seokmin tertutup. Kamu tertutup. Aku tertutup. Kita bertiga menyimpan rahasia masing-masing. Itu impas. Dan aku yakin rahasia yang kita simpan jauh berbahaya. Akan berdampak besar pada persahabatan kita jika terbongkar. Kalau ingin bermain dengan aman, terima apa adanya. Jangan egois. Atau kamu memang ingin mempertaruhkan semuanya?"

"Kamu bilang aku egois?" Pertanyaan itu lolos begitu saja. Mata Hao bahkan sudah berkaca-kaca. Tidak terima. Ucapan Mingyu terlalu menyakitkan untuk didengar.

"Baiklah. Maaf. Tidak perlu dijawab," Mingyu mengalah. Menyusun makanan yang tadi ia bawa sedemikian rupa. "Ayo dimakan. Kamu bilang tadi lapar. Nanti badanmu semakin kurus."

"Gyu..."

"Maaf. Dan pertanyaanku tadi tidak perlu dijawab. Kamu berhak dengan semua pilihanmu."

"Aku tahu kamu mengerti aku sepenuhnya."

Ya, sebagai sosok yang begitu rajin memperhatikan Hao, tentu ia mengerti. Bahkan sudah mulai menyadarinya sejak lama. Untuk itu, Mingyu menganggukkan kepala.

Hao melanjutkan kalimatnya. "Aku tidak mengerti. Aku juga terlalu banyak memiliki rasa takut. Aku tidak bisa mengendalikan ini."

Drama Only (✓)Where stories live. Discover now