Ia menatap putrinya yang jelas nampak terbebani dengan kemunculan pria itu.

"Jadi maksud ibu aku harus dengan mudah menerima laki-laki brengsek itu saat ingin bertemu Joana?" balas Any ketus.

"Bukan begitu. Ibu hanya ingin kalian tidak membuat masalah ini menjadi semakin ribet. Ingat ada Joana, jangan sampai perselisihan kalian justru mulukai Joana. Cukup sudah selama ini dia tumbuh tanpa sosok ayah, kalau ada itikat baik dari ayahnya, kenapa kamu tidak beri kesempatan. Jangan hanya memikirkan ego sendiri An. Ibu tahu kamu terluka, tapi saat ini ada Joana yang harus kamu jaga. Jangan sampai dia ikut terluka seperti kamu. Jadi pikirkan baik-baik."

Any tercenung mendengar ucapan ibunya. Ia membenarkan apa yang Rita katakan tapi ia juga tak rela Tama masuk ke dalam kehidupan putrinya. Biar bagaimanapun pria itu pernah menolak Joana dan pernah melukainya, masalah di antara mereka juga belum selesai dan Any tak memiliki keinginan untuk menyelesaikannya tapi jika Any hanya memikirkan dirinya sendiri, pasti Joana juga akan terluka.

Any menghela napas pelan.

"Kita liat nanti, toh yang memutuskan akan menerima pria itu di hidup Joana bukan aku bu. Joana sendiri yang memutuskan, aku enggak akan ikut campur." jelasnya.

"Apa itu berarti jika si Tama itu ke sini kamu akan langsung terima dia?" tanya Rita.

"Terima apa?" Any mengenyit bingung.

"Ya terima buat kembali sama dia lah An."

"Enggak lah bu! Dia cuman mau mengenal Joana, bukan kembali sama aku. Lagian juga dia udah punya tunangan." Any berucap cepat dengan ekspresi ngeri di wajahnya.

"Lah, terus gimana kamu ngejelasinya ke Joana? Nanti dia pasti bingung."

"Makanya aku keberatan si Tama itu muncul lagi. Aku bukan hanya akan ngejelasin kenapa Tama baru muncul sekarang tapi juga kenapa aku dan Tama enggak seperti orang tua normal lainnya. Joana pasti bakal tanya, dan kalau dia tahu yang sebenarnya Joana pasti bakal lebih terluka. Rumit bu. Aku belum siap. Ini terlalu tiba-tiba."
***

Waktu menunjukan pukul 06.30 saat ponsel Any berdering dan mengganggu tidurnya. Dengan mata yang setengah terbuka, ia bangun untuk mengambil ponselnya yang berada di atas nakas.

Any mengernyit saat nama Resti yang terpampang sebagai penelpon.

"Halo Res," sapanya dengan suara serak.

"Halo mbak selamat pagi. Aku ganggu tidurnya ya?"

"Enggak kok. Kenapa telpon pagi-pagi?" Any berbalik menatap putrinya yang masih tertidur pulas.

"Oh itu mbak, aku lupa ngasih tau, sebelum kita pulang dari restoran kemarin. Mas Tama minta nomor mbak Any sekaligus alamat rumah om dan tante."

Mata Any seketika terbuka lebar dan kantuknya hilang begitu saja.

"Hah?! Terus!"

"Aku kasih mbak. Soalnya kata mas Tama kalian teman lama dan dia pengen silatuhrami katanya."

Any menepuk dahinya pelan kemudian memejamkan mata mendengar penuturan sepupunya itu.

"Eh salah ya mbak? Apa seharusnya jangan aku kasih?"

Suara Resti mencicit pelan, terdengar menyesal dan takut di saat yang bersamaan.

"Sudah, enggak apa-apa. Tapi Res tolong lain kali kalau dia tanya macam-macam sama kamu bilang aja enggak tau," ucap Any memperingati.

"Oke mbak, maaf ya."

"Enggak apa-apa. Mbak tau kamu pasti bingung. Nanti mbak jelasin tapi bukan sekarang. Sudah dulu ya, mbak harus nyiapin sarapan dulu."

ReplaceDonde viven las historias. Descúbrelo ahora