Part 15

2K 308 10
                                        


Any duduk dengan gelisa di tempat duduknya berbanding terbalik dengan Joana yang bergerak ke sana kemari karena sudah tak sabar ingin bertemu Tama.

Yah. Pada akhirnya mereka sepakat untuk bertemu di sebuah cafe yang tak jauh dari rumah orang tua Any. Wanita itu sudah berjanji untuk membiarkan Tama mengenal putrinya dan di sinilah ia berada sekarang, bersama putrinya menanti kedatangan pria itu.

"Udah lama nunggu?" suara berat milik Tama memecah keheningan keduanya yang tengah duduk membelakangi pria itu.

"Om Tama!" suara bahagia Joana seolah menyadarkan Any bahwa benar pria itu sudah berada bersama mereka, bahwa ia memang memberikan kesempatan kedua pada Tama untuk mengenal putri mereka.

Any terduduk kaku di tempatnya, ia hanya melirik sekilas pada Tama yang tengah memeluk bahagia Joana sebelum mengambil minumnya untuk menyegarkan tenggorokannya yang kering.

"Hai," Sapa Tama tenang.

Any hanya tersenyum tipis sebelum kembali menyuruput minumanya dengan gugup.

"Om Tama, Joana kangen om Tama." Joana bergerak memeluk Tama dengan erat sembari menyandarkan kepalanya pada bahu pria itu.

Tama dan Any saling bertukar pandang. Sorot mata keduanya seolah menyatakan rasa haru yang sama. Gadis kecil yang tak tahu apa-apa itu menyatakan ketulusannya tanpa tahu kebenarannya.

Saat itulah Any melihat mata Tama yang memerah tepat setelah pria itu mengalihkan pandangannya. Dia menahan air matanya dan Any tahu itu.

"Om juga kangen," balas Tama dengan suara serak soalah menunjukan ia tengah menahan emosinya yang bercampur saat ini.

Any menatap keduanya campur aduk, ia merasa terharu untuk Joana tapi perasaan tak relah juga ada, Any juga merasa khawatir gadis kecilnya akan terlalu bergantung pada Tama.

"Om Tama kenapa kemarin langsung pulang? Kan Joana pengen ketemu om Tama."

"Maaf ya, kemarin om juga pengen ketemu tapi om lagi buru-buru. Jadinya enggak sempat ketemu Joana." Tama mengelus sayang rambut Joana sembari memposisikan gadis itu duduk dengan nyaman dipangkuannya.

Any melihat semua itu dalam diam, untuk ukuran pria yang tak pernah terlihat bersama ank-anak, Tama tahu betul apa yang harus dilakukan. Semua yang ia lakukan terlihat alami.

"Okey deh. Tapi ada gantinya ya." saat mengatakan hal itu suara Joana mengecil, wajahnya tersenyum dengan ekspresi lucu yang menyatakan ia tengah merencanakan sesuatu.

Any menyadarinya. Wanita itu menyipitkan matanya dan menanti dengan tenang, apa kali ini ulah gadis kecil itu.

"Boleh. Gantinya mau apa?" sebagai seorang ayah yang baru melangsungkan debutnya sejak lima menit yang lalu, Tama dengan semangat akan berusaha mewujudkan apapun yang diinginkan putrinya. Apapun itu.

Joana menggerakan  tangannya agar Tama mendekat padanya lalu dengan serius berbisik di telinga Tama walau sejujurnya suara gadis itu masih dapat didengar Any yang berada di bangku seberang.

"Tolong ijinin ke bunda kalau Jo pengen makan ice cream," bisiknya.

Tama mematung sesaat sebelum menengadah menatap Any yang balas menatapnya dengan ekspresi datar. Jujur saja Any cukup membuatnya gentar. Mereka belum berbicara apapun untuk memperbaiki hubungan mereka dan jika Tama harus tiba-tiba sok akrab pada wanita di hadapannya kini. Jelas hal itu akan terasa aneh.

Tama kembali menatap Joana yang tengah menatapnya dengan ekspresi penuh harap. Dia tak tega. Ini adalah permintaan pertama yang diajukan putrinya. Ia mana mungkin menolak.

"Any, Joana boleh makan ice cream?"

Hati Any berdesir saat mendengar Tama menyebut namanya. Untuk pertama kalinya pria itu tak menyebut namanya dengan nada benci. Namun dengan cepat ia Kembali menormalkan diri dan mencoba fokus pada apapun yang tengah mereka lakukan kini.

"Enggak boleh." Any menjawab singkat sembari menatap galak pada Joana.

"Kenapa? Itukan cuman ice cream. Apa salahnya biarkan Joana mendapatkan apa yang dia mau," balas Tama dengan kesal.

"Bukan begitu cara saya membesarkan Joana. Saya tidak membiarkan Joana mendapatkan apa yang dia mau. Saya mendidik anak saya untuk disiplin bukan mendidiknya untuk bersikap Senenaknya."

Tama bungkam. Ia jelas tak bisa membantah Any. Apa yang wanita itu bicarakan benar, dan dia tak punya hak untuk protes. Sudah beruntung Any memberikannya kesempatan untuk dekat dengan Joana. Any jelas tahu apa yang ia lakukan.

"Dan kamu Joana. Bunda enggak suka saat kamu mencoba melanggar aturan yang bunda kasih! Apalagi sampai manfaatin orang lain. Apa larangan bunda enggak cukup jelas buat Joana mengerti?" kalimat Any membuat Joana sama bungkamnya dengan sang ayah.

Mereka berdua seperti sepasang anak  anjing yang tengah dimarahi majikannya karena mencuri makanan. Jujur saja melihat keduanya diam saja sembari saling menatap satu sama lain karena takut manatap mata Any yang melotot galak, membuat wanita itu merasa geli dan perasaan kesalnya hilang tak berbekas.

Perasaan asing itu menyeruak masuk tak tahu malu sehingga membuatnya merasa sesak dan tak nyaman. Di saat yang bersamaan Any tak ingin merasakannya tapi juga ingin.

Apakah ini yang dirasakan wanita di luar sana yang memiliki keluarga utuh setiap kali memarahi suami dan anak mereka ketika membuat kesalahan? Jika ya, sepertinya menyenangkan.

Any dengan cepat tersadar. Pikiran bodoh apa yang baru saja melintasi benaknya. Jelas baginya itu adalah hal asing yang mustahil ia dan Tama akan alami. Mereka tidak berada di situasi seperti itu untuk disebut keluarga. Seharusnya Any sadar akan hal itu. Bukan malah berharap akan hal yang mustahil.

Dia harus sadar dan memperingati dirinya sendiri untuk tidak bertidak dan berpikir bodoh.









Missone1 😘💕💕🤗

ReplaceWhere stories live. Discover now