HAPPY 33

69.3K 6K 1.2K
                                    

Sesuai janjiku update cepet♡

Note : Bacanya pelan-pelan aja ya, jangan ngebut. Diresapi, dipahamin. hehee



Dokter mengatakan bahwa perubahan kondisi Raffa benar-benar mengejutkan. Tubuhnya menerima untuk sembuh secepatnya. Sekitar pukul delapan malam, sehabis aku dan Alvaro kembali dari kantin, suster mengatakan bahwa Raffa sudah sadar. Kami berempat terkesiap, lantas berdiri, menunggu sebentar di depan pintu. Menatapnya dari celah jendela.

Besok pagi, Raffa akan dipindahkan ke ruang perawatan. Berkali-kali aku mengucap syukur atas takdir Tuhan. Alvaro bilang, besok pagi setelah mengantar Raffa ke ruangannya, kami akan pulang dulu. Beristirahat.

Yang masuk ke sana ketika Raffa sadar adalah aku dan Alvaro. Raffa mematung, terdiam seribu bahasa. Aku tersenyum kikuk, kemudian berucap senang karena dia sudah sadar.

Sekarang, aku tengah duduk di samping Alvaro sambil menunduk. Aku mengantuk. Tapi kutahan, karena sedari tadi aku jengkel dengan sikap Amanda. Berkali-kali Ricca menegurnya, namun Amanda tidak perduli. Dari sorot mata Rian, dia tidak enak hati denganku. Dan detik itu juga, aku menemukan jalan keluar bahwa Rian adalah seseorang yang bisa kutanyai.

Sekarang sudah pukul sembilan malam. Aku berbisik, meminta Alvaro untuk segera ke mobil. Rasa kantukku sudah tidak bisa kutahan. Dia pun menyetujui. Namun, butuh waktu lima belas menit untuk turun karena harus mengurus satu nenek sihir yang ingin ikut denganku. Aku sempat kasihan, berpikir dia akan tidur di mana. Tetapi Alvaro malah menarik lenganku, kemudian berkata pada Amanda. ''Tadi gue udah nyuruh lo balik, tapi lo nggak mau. Nggak usah bikin ribet."

Rian paham, kemudian mencegah Amanda ketika aku dan Alvaro memasuki lift. Rian chatting, bilang bahwa Amanda akan tidur di ruangan Raffa. Katanya, dia bisa urus Amanda.

Ya ampun, baru kali ini aku bertemu seorang perempuan yang begitu menyebalkan. Kenapa dia terlihat seperti tidak ada harga dirinya? Mengejar dan manja di depan laki-laki yang jelas-jelas sudah menolaknya. Kalau readers, apa pernah bersikap seperti Amanda?

"Beli air putih dulu." Alvaro mengangguk menyetujui ucapanku.

Aku masuk ke mobil, juga Alvaro. Merebahkan jok, membaringkan tubuh. Aku menghela napas. Astaga, hari ini aku belum mandi. Nggak papa, besok pagi juga bisa. Alvaro menyalakan Ac. Ternyata, dia kegerahan juga.

Tadinya, aku ingin bertanya tentang sikapnya pada Raffa. Tapi urung, tidak jadi. Takut mengacaukan suasana yang memang sudah kacau.

"Al, administrasi Raffa kamu yang bayar?" tanyaku hati-hati.

Sebelum aku keluar dari rumah sakit, Alvaro mampir ke ruang administrasi, kemudian membayar biaya Raffa. Saat itu aku tidak bertanya, soalnya wajahnya kelihatan serius.

Dia mengangguk tanpa menoleh ke arahku.

"Kenapa kamu yang bayar? Emang kamu punya uang berapa sampai bisa bayarin biaya orang sakit? Itu mahal lho, Al."

Dia menoleh, kemudian beralih lagi menatap langit-langit mobil. "Nggak, nanti bokapnya ganti ke gue. Bokapnya lagi sibuk banget di luar negeri. Dia nitipin Raffa ke gue sama Rian."

"Papahnya nggak khawatir? Kok malah mentingin pekerjaan daripada anaknya yang kecelakaan?"

"Raffa itu kecelakaan nggak cuma sekali. Tapi ini yang paling parah. Dia suka mabuk berat, jadi sering tabrakan."

Aku menelan saliva. "Ya ampun. Aku nggak nyangka."

"Kenapa nanyain dia mulu?"

Aki terdiam sejenak. "Cuma nanya doang, Al. Kalau Rian suka mabuk juga?"

HAPPY STORY [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang