Brandari | 1

969 101 30
                                    

Ruangan dengan nuansa merah jambu ini sama sekali tidak terdapat aura kebahagiaan. Manusia yang sedang meringkuk sedih menjadi tersangka utama atas semua aura menyedihkan. Dia hampir tenggelam dalam kasur  yang membuatnya terasa sangat nyaman.

Sangat berbeda dengan manusia lain yang sedang duduk di sampingnya.

"Je, masa iya lo sedih tanpa ada penyebabnya." Dumel Berlina kepada temannya yang masih meringkuk di sebuah kasur sederhana.

"Emang sedih harus ada alasannya?" Timpal Jenata dengan suara yang malas.

Hari minggu ini Berlina dihubungi oleh Jenata, dan diminta untuk menemaninya seharian. Untuk sesaat Berlina pikir ia akan bersenang-senang untuk menikmati hari libur dengan pergi ke pusat belanja atau memenuhi isi perut, tapi pemikirannya itu jelas salah ketika Berlina melihat Jenata terlihat lesu dengan piyama kebesarannya.

Berlina memutar kedua bola matanya, "ada asap ada api, ada gula pasti ada semut. Dan, ya, sedih juga pasti ada alasannya Jenata."

Kiasan dan Berlina membuat tubuh Jenata bergerak bangun dari ringkukkannya. Bibirnya bergetar, matanya hampir mengeluarkan cairan. Jenata akan menangis dalam hitungan detik.

"Eh, eh ....," Melihat Jenata yang hampir menangis langsung membuat Berlina bergegas untuk memeluknya. "Kenapa si Je? Cerita sama gue."

Kepala Jenata menggeleng di atas bahu Berlina, "gapapa, cuman mau nangis aja."

Berlina menghembuskan napasnya kasar, dia melepaskan pelukan lalu mencengkram bahu Jenata dengan cukup kencang. "Je, setiap lo sedih pasti jawabannya begitu. Masa iya lo sedih terus tanpa ada alasan? Nggak masuk akal!"

Bukan kali ini Berlina menjadi seseorang yang selalu menemani Jenata saat sedang sedih, dan bukan kali ini juga ia tidak mendapat kejelasan mengenai hal apa yang membuat Jenata merasa demikian. Jenata lebih sering sedih tanpa sebab.

Menarik cairan di hidungnya, Jenata mencoba berbicara dengan suara serak. "Mau datang bulan, mungkin."

"Ya, itu alasan yang selalu lo kasih ke gue."

Berlina menghempaskan tubuhnya ke kasur Jenata, sangat berbeda dengan kasur miliknya. Riasan dan gaun yang sudah tertempel di gaun Berlina menjadi sia-sia karena hari Minggu ini, ia akan menghabiskan waktunya dengan Jenata di sebuah kamar ini. Kamar dengan bau mawar yang sama sekali tidak Berlina suka.

"Oke, stop sedih-sedihnya," Jenata mengusap wajahnya dengan gerakan acak. Jenata berdiri di atas kasur, berloncat-loncat bak anak kecil yang baru menemukan kesenangan. "Sedihnya hilang karena Berlina ada di sini!"

Karena gerakan Jenata, tubuh Berlina yang sedang berbaring ikut bergerak naik dan turun. Berlina tertawa, dia berdiri dan ikut melompat-lompat dengan Jenata. Berlina dan Jenata akan berusia 17 di tahun sekarang, namun kelakuan mereka berdua masih sama-sama tidak menggambarkan kedewasaan. Masih ada sifat anak kecil yang melekat pada keduanya, dan hal itu yang membuat mereka merasa cocok untuk menjalin hubungan pertemanan.

"Ini kalau kasur lo rusak, jangan salahin gue ya." Kata Berlina di sela-sela kegiatan meloncatnya.

Jenata memegang kedua lengan Berlina, "iya, lagian kalau rusak tinggal beli yang baru."

"Gampang banget ya lo ngomong, kaya nggak ada beban." Ujar Berlina.

Padahal Jenata sendiri juga tau jika kasurnya rusak, ia tidak akan bisa dengan mudah membelinya lagi.

Jenata cekikikan, "iya gampang banget ya gue kalau ngomong. Kalau beneran rusak, gue harus nabung dulu buat beli lagi."

Kehidupan Jenata sekadar cukup untuk hidup yang sederhana. Jika ada kebutuhan lain, maka keluarganya harus menabung terlebih dahulu.

BrandariWhere stories live. Discover now