[36]

145 13 9
                                    

Sean dan Veneza berjalan di atas rumput hijau yang disinari rembulan malam. Mereka menikmati hari ini dengan perasaan bahagia, setelah melakukan pemotretan mereka berdua memilih tempat ini lagi untuk mengakhiri hari. Tempat dimana Sean mengajaknya pertama kali ke taman bunga untuk melihat matahari terbit dan sore tadi Veneza melihat senja dan matahari terbenam. Sungguh indah.

"Kamu suka?" Tanya Sean duduk diatas rumput dan disamping Veneza memejamkan matanya.

"Iya suka dong, kan kamu yang ngajakin aku kesini." Jawab Veneza tersenyum.

"Kalau bukan aku?"

"Ya, aku nggak mau."

"Kenapa?" Tanya Sean mengernyitkan keningnya sedang Veneza mengalihkan padangannya kearah langit. Gugup

"Why? Kamu nggak mau kasih tau alasannya?" Tanya Sean Lagi memojokkan sambil mendekati Veneza lebih dekat hingga pundak mereka bertabrakan.

"E... Ya karena..."

Gadis itu menunjuk nunjukkan telunjuknya mencari alasan menghindari pertanyaan Sean. Ah kenapa pemuda itu sama sekali tidak peka dengan perasaannya, apa iya Veneza harus mengukapkan perasaannya duluan kenapa dia senang jika yang mengajaknya ke suatu tempat itu adalah Sean. Menyebalkan! Ayolah malaikat penolong tolong Veneza sekali saja. Umpat Veneza dalam hati. Mata Sean melebar meminta jawaban.

"Jadi..."

Drrtt... drrttt...

"Hehehe bentar." Veneza menunjukkan cengiran kudanya dan sedikit menjauh dari Sean untuk mengangkat telvonnya yang berdering.

***

Tangannya megetuk-ngetuk meja beberapa kali, penglihatannya terfokus pada layar laptop di depan nya namun dengan tatapan kosong. Seperti layang-layang putus yang terbang entah kemana, di dalam fikirannya hanya ada 1 orang yang membuatnya tak bisa berhenti memikirkannya walaupun dalam keadaan sibuk atau pun tidak. Sudah beberapa hari dia tak bisa berbicara dengannya, menghindar ya dia menghindari dirinya.

"Hufft...."

Terdengar helaan nafas lagi dan lagi.

"Apa yang harus aku lakukan, supaya dia bisa percaya lagi."

Sudah 2 jam yang lalu ia duduk di meja kerjanya sambil memikirkan sesuatu yang sampai saat ini belum juga menemukannya. Ia memijit pelipisnya yang sedikit berdenyut.

Krek..

Terdengar suara pintu terbuka, dan ternyata pemuda ganteng yang lain datang menghampiri sambil membawakannya dua gelas kopi instan di tangannya. Ia menghampiri sang kakak dan meletakkan satu gelas di meja kakaknya.

"Minum kopi aja dulu, biar rilex. Kasian tuh muka udah keluar keriput semua." Ledeknya dan duduk di sofa yang ada di ruangan kerja itu.

Jefin menyeruput sedikit kopi yang dibuatkan Alan untuknya, ia pun meyandarkan punggungnya kebelakang tempat ia duduk.

"Lu ada masalah apaan lagi sih, bang? Akhir-akhir ini gue liat lu udah mirip kucing yang nyariin induknya." Tanya Alan.

"Lo ngatain gue barusan?" Tanya balik Jefin memelototkan matanya kearah Alan yang mampu membuat pemuda berjiwa humoris itu diam.

"Kagak, bang. Maksud gue tuh gini.. apa.. gini loh.."

"Ahh udah, pusing gue tuh sama diri gue sendiri." Keluh Jefin mengacak-ngacak rambutnya.

"Cukup bang, cukup!" teriak Alan mengagetkan Jefin dan menatap adiknya itu bertanya.

"Sumpa lo udah kayak kucing kecemplung got. Cukup! Gue nggak kuat nahan ketawa kalo begini terus!"

"Alannnnn!" teriakan Jefin menggema di seluruh ruangan kerja miliknya, dan itu mampu membuat Alan malah menambah suasana bising itu dengan ketawanya. Alhasil Jefin melempar buku tebal ke arah Alan dan yap! Tepat mengenai kepala Alan dengan sempurna.

"Allahuakbar, tega lu bang." Ucap Alan mengusap kepala nya yang mungkin sudah benjol.

Terdengar helaan nafas panjang dari Jefin dan ia mengumpat tidak jelas sambil bersedap dada dan menatap tajam Alan.

"Keluar dari kantor gue!" suruh Jefin pada Alan, namun pemuda humoris itu tetap diam di tempat sambil menunduk.

"LAN?!" Teriak Jefin lagi, Alan pun langsung mengangkat kepalanya.

"Nama gue siapa? Lo siapa? Gue dimana? Ahhh gue amnesia!!" Ucap Alan tiba-tiba dan langsung beranjak dari duduknya berlari keluar dengan membawa gelas kopi yang masih setengah. Jefin yang terkejut hanya cengo melihat tingkah adiknya yang satu itu.

"Freak emang tuh bocah." Gerutu Jefin menggelengkan kepalanya.

***

Pukul 15.25 menit

Setelah latihan berkuda Kenzo duduk di temani Yasmin di pinggir lapangan yang memang sudah di beri fasilitas gazebo kecil. Pemuda itu diam hampir 1 jam yang lalu, sedang gadis yang setia berada di sampingnya juga ikut terdiam dengan pemikirannya masing-masing. Sambil sesekali meneguk air mineral di tangannya Kenzo menatap lahan kosong yang disinari matahari dari kejauhan.

"Tumben, tu anak absen. Biasanya dia yang paling semangat." Batin Kenzo.

"Ken?" Panggil Yasmin, namun pemuda itu tak menanggapi sama sekali. Iya terus bergulat dengan pikirannya.

"Kenzo?!" panggil Yasmin sekali lagi dengan oktaf sedikit tinggi, tetap tak membuahkan hasil. Sebenernya apa yang dipikirkan oleh Kenzo.

"Kenzo Jefnichol Tanubrata!" Teriak Yasmin dan itu mampu membuat Kenzo mengalihkan pandangannya kea rah gadis disampingnya duduk.

"Duh, kenapa teriak sih Yas?" Tanya Kenzo dengan nada yang tidak seperti biasanya. Yasmin mengernyit mengamati setiap inchi ekpresi Kenzo yang berbeda.

"Kenapa?" Tanya Kenzo lagi. Dan terdengar helaan nafas kasar dari Yasmin dan gadis itu cepat berdiri dari duduknya sambil mengambil tas selempang biru mudanya dia membalikkan tubuhnya bermaksud pergi meninggalkan Kenzo. Namun dengan cepat pemuda itu mencekal pergelangan Yasmin dengan mudah.

"Lo, mau kemana?" Tanya Kenzo merasa tak berbuat sesuatu yang salah terhadap Yasmin.

"Mau pulang." Tegas Yasmin dengan memilih tidak menatap mata Kenzo dan berlalu begitu saja meninggalkan pemuda itu sendirian di gazebo yang sepi.

"Yas! Yasmin?!" teriak Kenzo terus menyebut nama Yasmin, namun itu sama sekali tak berpengaruh pada Yasmin yang sudah terlanjur menjauh dari jangkauannya.

Kenzo menurunkan bahunya lesu, ada apa dengan dirinya kali ini. Ia tak bisa mengerti perasaannya sendiri sekarang, bahkan Yasmin yang biasanya bisa membuatnya tersenyum bahagia kini tidak sama sekali. Yang ada di otaknya adalah gadis lain yang malah sering membuatnya kesal bahkan setiap kali mereka bertemu pun tidak ada satu hari untuk bertengkar. Tapi kenapa? Kenapa? Kenapa sekarang dia malah memikirkan gadis yang baru beberapa bulan dia kenal. 

KU INGIN MENCINTAIMUWhere stories live. Discover now