Prolog

62 13 27
                                    

Prangg.

Suara itulah yang selalu terdengar saat Elora pulang ke rumah. Ia yakin, kedua orang tuanya sekarang pasti sedang berdiri berhadapan dan saling menatap satu sama lain. Tidak, bukan jenis tatapan romantis seperti di film-film, melainkan tatapan sinis yang ingin saling membakar satu sama lain. Elora heran, apa mereka tidak lelah, selalu bertengkar karena meributkan hal yang sama setiap harinya? Ia saja sudah muak walau hanya mendengarnya.

Elora memantapkan langkahnya memasuki rumah, ia akan berpura-pura tidak melihat kedua orang tuanya. Elora tidak akan ikut campur lagi urusan mereka, ia sudah lelah menasihati kedua orang tuanya yang berkepala batu itu. Jadi lebih baik, ia mengabaikan mereka saja, seperti mereka yang mengabaikan keberadaannya sebagai putrinya.

Tes.

Setetes air mata jatuh ke pipinya. Tidak bisa, Elora sudah berusaha mengabaikan mereka tapi tetap saja tidak bisa. Ia terlahir dari darah daging mereka, jadi mana mungkin ia dapat mengabaikan mereka. Walau sikap mereka membuat Elora kecewa.

Elora menghentikan langkahnya tidak jauh dari orang tuanya. Menatap kedua orang tuanya yang masih saja adu mulut dan tidak menyadari kehadirannya.

"Sudah cukup Ma, Pa." Elora berusaha menghentikan pertengkaran antara kedua orang tuanya.

"Apa kalian tidak capek, setiap pulang ke rumah kerjaannya ribut terus?" tanya Elora dengan mata berkaca-kaca.

"Diam El. Kamu tidak tau apa-apa," bentak Fallon, Papa Elora.

"Jangan pernah kamu membentak putriku," sela Winona, Mama Elora dengan tidak terima.

"Dia juga putriku kalau kamu lupa."

"Seorang ayah tidak akan membentak anaknya," kata Winona dengan tegas.

"Aku tidak membentaknya, aku hanya memberitahunya."

"Lihatlah El, dia sudah salah tapi selalu saja mengelak. Dasar laki-laki tidak tau diri," desis Winona dengan sinis.

"Heh, wanita keras kepala, kamu tidak usah memprovokasi Elora untuk membenci papanya sendiri ya," tuding Fallon pada istrinya.

"Aku tidak pernah memprovokasinya, dengan melihat sikapmu saja Elora sudah tau jika kamu bukanlah papa yang baik untuknya."

"Kamu-"

"CUKUP!!" teriak Elora dengan wajah yang sudah berlinangan air mata.

"Kalian berdua sama saja, El benci kalian berdua." Setelah mengatakan itu, Elora langsung membalikkan tubuhnya untuk meninggalkan kedua orang tuanya. Niatnya yang ingin melerai pertengkaran kedua orang tuanya tidak berbuah manis. Justru Elora malah merasa semakin sakit hati.

Brakk.

Elora membanting pintu utama dengan keras. Ia sudah muak berada di dalam rumahnya sendiri. Rumah yang dulu selalu memberikan kenyamanan, kini telah berubah menjadi kegelapan bagi Elora. Iya, tidak ada lagi orang tuanya yang akan selalu memberikan warna di hidupnya setiap hari. Mereka terlalu sibuk dengan dunia mereka sendiri dan ia sadar bahwa hidupnya kini telah berubah. Semuanya tidak akan pernah sama lagi.

Fallon dan Winona terperangah menatap kepergian putrinya. Setelah Elora menghilang di balik pintu, mereka kini saling menatap lagi.

"Ini semua gara-gara kamu," tuduh Winona selagi mengacungkan jarinya ke arah Fallon.

"Berkacalah wanita keras kepala." Setelah mengatakan itu, Fallon segera pergi meninggalkan Winona sendirian.

Winona tidak menatap kepergian Fallon, ia lebih memilih memalingkan wajahnya yang sudah dibanjiri oleh air mata. Winona sungguh tidak menyangka jika rumah tangganya akan hancur seperti ini.

****

Elora mengemudi mobilnya dengan kecepatan tinggi. Elora bingung, ke mana ia akan memenangkan dirinya. Tidak mungkin ia pergi ke rumah Albert, karena sudah terlalu sering ia merepotkan sahabatnya itu. Iya, satu-satunya tujuannya kali ini adalah pergi ke bar. Setidaknya di sana nanti, ia bisa menenangkan pikirannya walau hanya sesaat. Lagipula ini bukan kali pertama Elora pergi ke bar, sejak orang tuanya sering bertengkar, saat itulah ia kenal dengan dunia malam.

Setelah memarkirkan mobilnya, Elora segera turun dari mobil kemudian masuk ke dalam bar yang tampak ramai meskipun hari belum larut. Elora berjalan menuju meja bartender kemudian duduk di sana untuk memesan minuman.

"Mau minum apa?" tanya seorang bartender.

"Whisky."

Tak lama kemudian sang bartender datang membawakan segelas whisky. Elora meraih minuman tersebut kemudian menyesapnya sedikit. Rasa panas langsung membakar tenggorokannya, tapi ia mengabaikannya. Ia meminumnya lagi dan lagi hingga minumannya tandas.

"Lagi," kata Elora kepada sang bartender.

Selagi menunggu, Elora mengalihkan tatapannya ke arah dance floor. Dari sini, Elora dapat melihat orang-orang yang tengah meliuk-liukkan tubuhnya seperti tanpa beban.

Elora menyesap minumannya lagi dengan segala emosi yang tertumpuk di kepalanya.

Apakah orang-orang itu tidak mempunyai beban hidup seperti dirinya? Apa mereka sebenarnya sama seperti dirinya yang butuh pengalihan dari masalah yang sedang mereka hadapi? Atau sebenarnya hanya dirinya saja yang terlihat menyedihkan di sini?

"Sial," umpat Elora saat pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi benaknya.

"Ini semua gara-gara Mama dan Papa," gumam Elora yang menyalahkan kedua orang tuanya.

"KALAU MEREKA NGGAK BERTENGKAR TERUS, GUE NGGAK AKAN SEPERTI INI," teriak Elora.

Meskipun begitu, suaranya teredam oleh musik yang berputar kencang memenuhi ruangan itu.

Elora terisak hebat selagi meminum gelas kelima whisky nya. Sepertinya Elora sudah kehilangan kewarasannya. Ia terus menangis meraung-raung dan terus menyalahkan kedua orang tuanya. Umpatan-umpatan kasar lolos dari mulutnya. Sang bartender yang mendengar hanya bersikap acuh tak acuh. Sudah hal biasa menurutnya, banyak orang yang sedang dirundung masalah datang ke sini untuk menghabiskan malamnya di tempat ini.

Saat Elora merasakan kesadarannya tinggal sedikit, seseorang menarik Elora untuk berdiri kemudian menyeretnya keluar dari bar.

"Lepasin gue." Elora meronta-ronta dalam genggamannya.

"Lo pasti mau nyulik gue ya?"

"Atau lo suruhan Mama dan Papa?"

"Ah tapi mana mungkin, mereka 'kan sudah tidak peduli sama gue."

"Lepasin gue please, LEPASIN GUE," teriak Elora di ujung kalimatnya, ia masih terus meronta-ronta minta di lepaskan oleh orang yang sudah mengganggu kesenangannya.

"CUKUP EL!!" bentak orang itu.

"Gue udah bilang sama lo, kalau lo punya masalah, lo tinggal datangin gue," kata orang itu, berusaha mengatur emosinya.

"Ingat El, masih ada gue. Gue siap jadi tempat bersandar lo. Gue siap jadi tempat mencurahkan keluh kesah lo. Gue akan berusaha membantu lo mengatasi masalah lo, El. Jangan pernah lo pergi ke bar lagi, ok?"

Elora menatap orang itu dengan pandangan yang berbayang. Ia merasa terpukul dengan setiap kata yang di ucapkan oleh orang itu. Iya, ia tidak sendirian. Ia masih punya sahabat yang selalu mengerti dirinya dan selalu ada untuknya. Ia harusnya sudah cukup puas dengan hal itu. Iya, Elora tidak butuh siapa-siapa lagi, termasuk orang tuanya.

"Maafin gue," kata terakhir yang terucap dari bibir Elora sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri.

****

Never Be The SameWhere stories live. Discover now