Antara 23: Penyesalan

274 82 3
                                    

Antara 23: Penyesalan

Selamanya, yang namanya kecewa tidak pernah ada obatnya.

🌅🌅🌅


Mata membelalak tak percaya menatap objek di depannya. Tubuhnya seketika gemetar saat objek yang ia lihat benar-benar berbeda. Secepat kilat ia menghampiri seorang gadis yang tengah duduk di teras rumah sakit sambil menyandarkan kepalanya di tiang.

"Kak Raya."

Hening.

Gadis itu ... Raya.

Hanya diam yang Raya bisa lakukan. Pikirannya masih tak bisa dikendalikan merasakan segala hal yang kian menyiksa.

"Gue pembunuh," lirih Raya masih fokus menatap hampa ke depan.

Rasa tak tega itu kian berubah menjadi kekhawatiran yang nyata. Dia, Raya, seseorang yang pernah ia sakiti di masa lalu. Perasaan bersalah kian menggerogoti jiwanya. Ia berjongkok di hadapan Raya. Mata teduhnya memandangi mata bulat itu yang seolah tanpa asa.

"Kak Raya, maaf ..."

Tetesan itu kembali jatuh. Raya masih tak bergeming. Diam membisu adalah opsi satu-satunya yang ia miliki. Kesadaran yang tinggal berada di tengah-tengah membuatnya tak bisa melakukan apa-apa.

Perasaan kecewa yang teramat dalam, dalam sekejap berubah jadi kebencian.

Laras. Pikirannya masih senantiasa memikirkan dua insan di dalam sana.

Laras yang seakan tersakiti sedemikian parah.

Juga Jagat yang dibuat Laras membenci dirinya sedemikian rupa.

Tuhan. Apa tidak cukup semuanya sampai di sini?

Kenapa gadis ini juga ikut hadir lagi sekarang?

Mata Raya bergerak kecil menatap gadis di depannya yang sudah menangis.

"Gue pembunuhnya," ucap Raya lirih.

Gadis itu menggeleng kuat. Tangannya terulur meraih kedua telapak tangan Raya erat.

"Sasa, gue pembunuhnya."

"Nggak! Kak Raya nggak boleh ngomong gitu."

"Kata Laras, gue pembunuh Ayahnya."

Sasa semakin menggeleng kuat. Bukan, gadis di depannya tidak seperti itu.

"Kak Raya bukan pembunuh. Bukan." Sasa semakin menggeleng kuat seraya menangis tertahan.

Bibir Raya tersenyum sinis.

Tidak salah dengar kah dirinya sekarang? Sosok Sasa kali ini menegaskan bahwa dia bukan pembunuhnya?

Raya menarik tangannya menjauh. Ia mengelap bulir-bulir di pipinya kuat. Gelap malam yang menyelimuti segalanya benar-benar patut disyukuri oleh Raya. Setidaknya hanya ada orang berlalu-lalang di sini.

Setidaknya, gelap malam mampu membius segala hal yang Raya benci.

"Maaf, Kak."

Bibirnya tersenyum sinis memandang langit. Bersamaan dengan bulir air yang kembali jatuh, Sasa dengan segala rasa bersalahnya memeluk erat kaki Raya.

"Lepasin."

"Maaf ... Kak."

Isak tangis Sasa benar-benar membuat telinga Raya ingin terbakar.

"Kenapa lo kembali?"

"Maaf, Kak. Maafin gue ..."

"Kenapa baru sekarang? Kenapa nggak dari dulu? Kenapa nggak sejak sebelum hari ini ada, Sa?"

Sebuah Antara ✔Where stories live. Discover now