WCI | 8

20.9K 2.2K 45
                                    

"Tau apa yang paling semena-mena di dunia ini selain manusia? Jawabannya, takdir."

-WCI-

✨✨✨

"INI BENARAN?!" tanya Namira heboh. Matanya melotot karena saat ini, dirinya tengah duduk manis di ruang rohis. Bersama dengan anggota yang lain.

"Jangan berisik, Namira," tegur Kafka.

Namira memandang wajah Kafka kesal. "Gak bisa berdua aja?" bisiknya.

"Kenapa?"

"Gue malu," cicitnya.

Kafka tersenyum tipis. Tak lama, ia mengulurkan pulpennya ke depan dahi Namira. Lalu mengetukkan pulpen itu pelan ke dahi Namira. "Makanya belajar dari kecil."

"Gue maunya juga gitu. Tapi gue dulu taunya main doang, jadi jarang datang ke guru ngaji gue," curhat Namira.

"Siapa yang nyuruh main?"

"Gue, lah! Kan gue yang main. Ya itu atas kemauan gue sendiri. Jadi diri gue juga yang nyuruh gue main. Eh! Gue ngapain, sih, Kaf!" gerutu Namira.

"Kan kamu ngomong, kok pake tanya lagi?"

"Kayaknya kita keluar dari topik awal, deh!"

"Terus gimana? Jadi atau enggak?"

"Emang lo bisanya kapan lagi? Gue gak mau kalau rame gini!"

"Kan saya udah pernah bilang, saya bisa kapan aja. Kamunya yang bermasalah sama waktu."

"Oh, iya. Gue lupa. Besok gue mau latihan balap motor, sabtu gue mau lomba balap motor, minggu gue tidur. Apa minggu depan lagi aja, ya?" tanya Namira dengan wajah tidak berdosanya.

Kafka lagi-lagi mengetukkan pulpennya di dahi Namira. "Saya melarang kamu untuk latihan maupun ikut lomba balap motor," ujar Kafka dengan tegas. Walau suara keduanya masih sangat pelan.

"Kok lo ngelarang, sih? Kan gue udah biasa ngelakuin itu!" komentar Namira.

"Kaki kamu masih terluka. Kalau jadinya semakin parah bagaimana?"

"Ya diobatin lagi, apa susahnya?"

"Kenapa kamu suka sekali menyakiti diri sendiri?"

"Kok nyakitin diri sendiri?"

"Menambah luka itukan menyakiti diri sendiri," ujar Kafka masih tidak mengalah.

"Pokoknya gue tetap ikut lomba!"

Kafka menggeleng. Tatapannya menajam. "Tidak boleh. Kalau kamu ikut lomba, saya akan mendekati kamu sampai kamu merasa risih dan tidak nyaman."

Namira tersenyum licik. "Lo yakin gue bakal risih? Coba lo pikir, cewek mana yang risih dan gak nyaman kalau dekat sama cowok kayak lo? Walaupun gue suka balap, tapi gue lebih suka cowok kayak lo. Jadi lo mau apa?" tantang Namira.

Kafka merutuki ancamannya yang tadi. Ia benar-benar lupa reputasinya di sekolah. Namun, sepertinya ada yang janggal. Sejak kapan Namira suka dengan cowok seperti dirinya?

Wa'alaikumussalam! Calon Imam! [END] [SEGERA TERBIT]Where stories live. Discover now