BAB 30 - Tidak Benar-benar Pergi

408 44 6
                                    

Ada yang nunggu My Bra? Ini hari Kamis lho. Update lagi lhoooo. Jangan lupa ramein doong. Ehehe. Selamat membaca.


BAB 30

TIDAK BENAR-BENAR PERGI

Pertengkaran hebat dua tahun lalu masih menyisakan memori yang tertata lengkap di dalam otak. Sudah sering pemandangan itu mencoba Joice hapus. Hasilnya? Semakin berusaha dilupakan, semakin sering muncul adegan mirip layar lebar tersebut.

Embusan napas kasar membuat sopir Joice ikut meneleng dari kaca spion depan. Sepertinya lelaki gembul itu tahu persis perasaan Joice. Meski tidak pernah mendengar isi hati Joice secara langsung, tapi pertengkaran dan perdebatan Joice dengan papanya sering menyambar telinga supir bernama Korni saban hari.

"Bentar lagi, Neng," desah Korni. Dia orang betawi. Cara biacaranya kadang bikin kesal Joice.

"Terus?"

"Iya ngasih tau aje gitu. Barangkali mau ke mana dulu, atau mau beli apa dulu gitu buat Mama-nya."

Boro-boro membeli sesuatu, melangkahkan kaki ke rumah yang katanya lebih mewah dari rumah Joice dan papa juga sangat berat. Bukan Joice banget jika dia harus pura-pura senang, menyodorkan bingkisan, kemudian senyum lebar saat bertemu mereka.

"Lanjut aja, Pa," jelas Joice. "Banyak kali, di sana makanan. Nggak perlu dibawain. Entar malah diketawain sama mereka."

Korni mengangguk. "Atau mungkin Neng mau ke salon dulu gitu, biar kelihatan cantik?"

"Aku nggak cantik hari ini?" Joice melotot.

"Agak pucat sih."

"Ya udah, biarin aja. Biar mereka tahu, aku nggak seneng pindah ke rumah mereka."

Lelaki itu memilih bungkam setelah taring Joice keluar.

Di daerah Bandung Barat, mobil itu masuk ke perkebunan teh, melewati ladang luas yang ditumbuhi pohon-pohon jati dan mahoni, serta melewati warung-warung kecil yang berdiri satu meter di pinggir jalan raya. Di perjalanan itu pula, Joice lebih banyak melihat ke jendela. Dia berusaha melupakan keresahannya dengan diobati warna hijau sepanjang jalan.

Mama Joice memang pindah ke Lembang setelah bercerai dengan Malik. Dia dibawa suami yang katanya 'berondong'. Sejak mereka menikah, Joice sama sekali belum pernah melihat seberapa muda suami mamanya itu. Pernah suatu hari, sang mama menelepon dan mengajak bertemu di salah satu mall di Bandung untuk makan bersama. Joice menolak. Dia mengaku sedang kuliah dan tidak bisa ditinggalkan. Padahal dia menangis di dalam kamar dengan suara dibekam bantal.

Kenapa orang lain bisa secepat itu menerima perubahan? Sampai sekarang, Joice masih terbayang kebersamaan Papa dan Mama sebelum bercerai. Cengengnya Putri dan centilnya Joice menjadi hiburan di rumah mereka.

Dari kebahagiaan itu, terjadi perbedaan kontras pada dua tahun selanjutnya. Mereka gampang sekali membelokkan pikiran dan hati. Mama bahagia dengan suaminya yang sekarang. Papa sibuk dengan pekerjaan (meskipun untuk urusan perkawinan, Joice tahu betul jika dia terpuruk). Sementara, Joice seperti masih ditemani bayangan bunga-bunga mekar yang indah pada masa itu. Dia tidak bisa menerima kenyataan, bahwa bunga tersebut sudah layu atau bahkan kering.

Cepat sekali mobil itu melaju. Joice yang ingin berlama-lama di jalanan, tak bisa membantah bahwa pada akhirnya dia harus melihat rumah mamanya dari kejauhan. Rumah itu terlihat paling besar. Sementara satu dua rumah yang dilewati mobil, berukuran sedang dengan tingkat kemewahan biasa-biasa saja.

Seorang satpam membukakan gerbang saat Korni memijit klakson. Lelaki itu membelokkan mobil dari sisi jalanan menuju rumah tersebut.

Ini rumah yang katanya mirip istana itu!

My Bra (TERBIT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora