BAB 2 - Pertemuan

1.4K 128 34
                                    

BAB 2

PERTEMUAN

"Filmnya oke nggak, Bra?" Inggit bertanya antusias.

"Nggak terlalu seru. Aku kan udah nonton di hari pertama peluncuran film itu. Sudah ku-review juga di youtube. Lagian, kita ketinggalan 30 menit pertama. Bikin eneg. Aku jadi nggak dapet feel-nya." Langkah Brayn pelan, masih cuek. "Dan itu semua gara-gara kamu. Kalau kamu bantu aku buat nolak ajakan Mama, mungkin kita bisa nonton dari awal."

Inggit menonjok bahu Brayn yang tingginya hampir 10 sentimeter melebihi badan mungilnya. "Tapi kamu seneng kan, Mamamu masak?" Bibirnya monyong. "Hem, sok-sok-an nolak lagi. Sendirinya girang ada yang merhatiin."

Brayn tak menanggapi ocehan Inggit. Dia sedang mengamati canda tawa pengunjung pusat perbelanjaan. Juga memilah tempat yang paling sepi. Lima menit berkeliling di Braga Citywalk, dia mengembuskan napas lega. Ada sebuah kedai kopi di pojok kanan, tepat sebelum keluar dari gedung tersebut. Hanya ada satu dua orang yang duduk dan menikmati minuman di sana. Mungkin karena sudah terlalu malam. Seharusnya jam 10 malam begini, kedai itu sudah tutup.

"Ngopi dulu ngapa? Males pulang." Brayn menarik lengan Inggit.

Setengah terseret, cewek itu menggerutu. "Apaan sih kamu. Tangan aing sakit!"

Tak peduli, cowok itu tetap menarik Inggit.

Mereka duduk di bangku pojok belakang, menghadap jendela. Kedai ini cukup populer di Braga. Karena gaya kedai yang modern dengan warna-warna unik, banyak anak muda yang mampir, tak terkecuali Brayn. Bisa dilihat, dinding kedai yang dipenuhi tulisan-tulisan gaul ala anak Bandung, menjadi salah satu pemandangan unik.

Ulin Ka Bandung, Loba Awewe Geulis (main ke Bandung, banyak cewek cantik).

Ngopi heula Atuh Lur, Meh Santuy (ngopi dulu gengs, biar santuy).

Dan tulisan lainnya.

Seorang perempuan berambut sebahu, ditemani senyum lebarnya sudah berada di depan Brayn sesaat setelah cowok itu mengangkat tangan. Sesekali, cewek itu menatap Brayn, meski kemudian buru-buru melihat buku kecil di tangan. Cewek berkaus merah, bermotif logo tempatnya bekerja, tampak salah tingkah saat Brayn mengamatinya dari atas sampai bawah.

"Mau pesan apa?" Brayn bertanya kepada Inggit.

"Samain aja deh," desahnya.

"Oke ...."

Brayn mengulas senyum tipis ke pelayan. "Espresso dua ya, Teh."

Pelayan itu menyebutkan kembali pesanan mereka, kemudian berlalu dari hadapan Brayn dan Inggit. Cewek itu aneh sekali. Dia berjalan sangat cepat. Di sela langkah, satu tangannya menutup mulut.

Inggit melepaskan tawa saat pelayan tadi sudah menghilang dari hadapan mereka.

"Kenapa?" tanya Brayn.

"Di mana-mana, pasti cewek-cewek pada natap kamu, lalu salting dan kegeeran. Duh, gini nih, effek punya wajah rada-rada ganteng."

"Itu aja yang kamu bahas kalo kita jalan. Bosen aing Nggit."

Inggit tertawa lagi. Dia lantas menggeserkan kursi, merasa harus berbicara lebih dekat dengan cowok itu. "Ngomong-ngomong, gimana youtube kamu?"

"Dia baik-baik aja."

Inggit mencubit lengan Brayn. "Aku serius Herman!"

"Aku juga serius, Purnomo!" Brayn menyimpan ponsel yang dari tadi diotak-atik. "Kenapa sih, nanyain youtube mulu? Lihat aja sendiri buat tahu perkembangan channel-nya!"

My Bra (TERBIT)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant