BAB 16 - ORANG LAMA DAN ORANG BARU

250 51 3
                                    


Welcome pembaca baru. Insya allah cerita ini akan diupdate setiap hari Senin ya. Terima kasih yang sudah membaca sampai sejauh ini. Enjooooy.

***

BAB 16

ORANG LAMA DAN ORANG BARU

Suara pintu yang terbuka membuat Bi Wati terperanjat. Ini baru pukul empat sore. Bagaimana mungkin majikannya pulang secepat itu? Terlihat Anggun dari balik pintu. Sebelah tangannya memegang kepala. Tangan lain menjinjing tas. Sementara, wajahnya agak pucat. Lemas. Dia menahan badan agar tetap tegap tanpa terjatuh.

"Nyonya sudah pulang?" Bibi datang dengan senyum semringah.

"Saya sedang tidak enak badan, Bi." Anggun mengamati perempuan berdaster kebesaran, dengan rambut disanggul dan wajah berminyak dari atas sampah bawah. "Alea mana?"

"Sedang tidur, Bu." Bibi menjawab sambil merebut tas di tangan Anggun. "Mau saya siapkan obat, Bu?"

"Tidak usah, saya sudah minum obat. Saya mau istirahat dulu!" Anggun tersenyum.

Langkah Anggun menyepat. Dia tidak peduli jika seandainya salah satu kaki tersandung sesuatu. Dia tidak sabar ingin segera masuk ke kamar. Sampai kemudian, wanita itu membuka ruangan besar dengan sangat kencang. Setelah berada di dalam, dia menghalangi pintu dengan badan. Dia menggelepar, badannya mengelosor, air matanya tumpah.

"Kenapa kamu muncul lagi di kehidupan saya?" Suara Anggun parau.

"Kenapa?" Dia masih menatap layar ponsel.

"Kamu menghianati saya! Sekarang, kamu muncul lagi?"

Kali ini, giginya bergemeletuk. Wajah yang pucat berubah lebih keras. Emosinya terkumpul. Sesekali, dia menekankan ponsel di dada. Mencoba untuk meminimalisir tangisan.

Pikirannya melayang kembali ke masa itu. Masa ketika dirinya berjuang di ruangan pengap bercat putih. Bau obat bukan lagi masalah. Justru, dia ada di antara hidup dan mati. Dia sedang berjuang menyelamatkan darah dagingnya.

Disaat-saat seperti itu, biasanya akan ada seorang suami yang memegangi tangan istri, mencium keningnya, mengatakan: kamu kuat! Kamu bisa! Sebentar lagi kita akan punya bayi! Saat itu, Anggun sendiri.

Anggun sempat berpikir, dirinya tidak sanggup. Dia ingin mati. Namun, ada tangis si kecil yang menggema di kepala, padahal saat itu anaknya bahkan masih di dalam perut. Seperti ada suara yang terus menghantui.

Wanita itu sadar, dia punya seseorang yang harus diperjuangkan. Brayn, dia orang yang dimaksud. Hingga waktu telah begitu cepat bergulir. Sejak berjuangan melahirkan Brayn, Anggun telah menyimpan luka selama 20 tahun.

Suara ponsel menggema. Orang itu yang menelepon! Penghianat itu yang sedang mencoba mendobrak hati Anggun. Keras, ikon berwarna hijau ditekan di ponsel layar sentuhnya.

"Kamu mau apa lagi, hah?" teriak Anggun. "Saya tidak akan pernah memberikan Brayn sama kamu!" Anggun menunjukkan jari ke depan, seolah seseorang yang sedang berbicara di seberang sana ada di hadapannya. "Jangan ganggu saya! Saya sudah hidup bahagia tanpa kamu!"

Tanpa menutup telepon, Anggun mengakhiri pembicaraan dengan melempar benda itu. Kamarnya berantakan. Kerangka ponsel pintar berserakan di lantai. Lebih daripada kerangka ponsel, dirinya juga berantakan. Luka lama yang berusaha dikubur berada di depan mata.

Dia kembali ....

***

Ucapan dosen berkacamata menguap begitu saja di telinga Brayn. Suara keras yang sedang menjelaskan mengenai proses penyeleksian sekenario yang sempat mahasiswa kirimkan, tak tertangkap banyak. Entah karena Brayn duduk di belakang, atau memang pikirannya sedang kalut. Kalimat kedua adalah alasan yang paling tepat. Kalut.

My Bra (TERBIT)Where stories live. Discover now