BAB 26 - TTD Kontrak

349 40 0
                                    

Hallo. Pasti nungguin ya? Minggu kemarin aku libur update karena nggak keburu pegang laptop. Ehehe. Sekarang udah up lagi. Seperti biasa. My Bra update setiap Senin dan Kamis. Selamat membaca.

***

BAB 26

TTD Kontrak

Inggit berdandan lebih waras. Dia mengoleskan lipstik, make up (meskipun tipis), plus mengenakan baju yang lebih dari sekadar kaus oblong dan celana jeans sobek-sobek. Kemeja kotak-kotak berwarna biru, dilengkapi dengan topi putih yang bertengger di kepala, jeans berwarna abu, serta sepatu sneakers, tidak mengubah kesan apa-apa selain menarik.

Sore ini, setelah Inggit menggalau ria dengan menunggui Brayn di kampus, duduk di kursi kayu di pinggir jalan hanya untuk melihat motor matic Brayn, sampai nekat datang ke kelas Brayn (lagi) demi memastikan orang itu benar-benar ada, akhirnya menyerah. Brayn memang tidak datang kuliah.

Jarang sekali cowok itu mengorbankan kuliahnya selama satu minggu kalau bukan ada sesuatu yang membuatnya terluka. Inggit akhirnya hanya bisa berdoa dan yang terakhir, menyalahkan diri sendiri. Tidak lebih!

Sepulang dari kampus, Inggit menemui Gara yang sudah menunggu di depan rumah. Gara yang tidak masuk kerja hari ini, terlihat klimis. Dia memang baru mandi dengan menempelkan segala wewangian di badan. Sepertinya parfum saja habis setengah botol. Kemudian deodoran diulaskan sampai 15 kali.

"Maaf nunggu lama, Kak." Inggit mengulas senyum saat masuk ke dalam mobil.

"Santai. Setengah jam lagi acaranya." Gara tertawa, lantas membiurkan mobil dari hadapan rumah Inggit.

Perasaan Inggit bercampur antara senang, sedih, kecewa, dan merasa bersalah. You know, gimana rasanya ditinggalkan orang yang sudah lama bersama-sama dengan kita. Mirisnya, Inggit seperti orang lain saat Brayn ada masalah. Bukan seperti sahabat yang menjadi tempat pelarian seperti sebelum-sebelumnya.

"Ada kabar soal Brayn, Kak?" tanya Inggit pada akhirnya.

"Hem?" Gara yang sedang menyetir, menengok sejenak. "Belum."

Inggit mengempaskan badan di kursi mobil.

"Semua orang terluka Brayn pergi. Mama sakit, Papa nggak fokus kerja, Alea juga kebawa-bawa."

Inggit menelan ludah. Aku juga terluka!

"Tunggu saja beberapa hari lagi. Kalau dia sayang sama keluarga, pasti dia balik."

"Nggak semudah itu, Kak." Mata Inggit mulai berair. "Brayn adalah orang paling keras kepala yang pernah aku tahu! Keputusan pergi dari rumah, tidak akan membuat dia semudah itu untuk pulang."

Gerakkan tangan Gara yang membolak-balikkan setiran mobil, terlihat lebih cepat.

"Kalau dia sudah bertekad melakukan sesuatu, dia akan berusaha untuk melakukan itu!" tambah Inggit.

"Berarti kita tunggu sampe dia nyerah ...."

"Aku nggak yakin juga dia bakal nyerah."

Pandangan Gara yang menembus kaca depan mobil, sesekali beralih ke Inggit yang terlihat murung. "Inget Nggit, hari ini kamu akan tanda tangan kontrak penerbitan buku. Please, sayangi dirimu. Ini hari bahagia kamu."

Inggit tidak menjawab apa-apa. Seharusnya, di hari bahagiaku ada Brayn juga. Sama halnya ketika aku terluka, atau dia terluka. Kami selalu sama-sama!

Butuh lima belas menit supaya mobil Gara bisa melewati jalanan yang cukup ramai. Beberapa kali, mau tidak mau cowok itu juga menginjak pedal rem di hadapan lampu merah. Bahkan satu kali klakson keras mengudara gara-gara ada motor lewat tanpa lampu send. Pada akhirnya, mereka sampai di salah satu kafe yang cukup terkenal di Bandung. Hampir semua orang yang berada di kafe tersebut, berhadapan dengan laptop. Minimal, mereka mengobrol dengan rekan-rekan bisnis.

My Bra (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang