BAB 14 - Anggara Putra Abadi

259 48 5
                                    

BAB 14

Anggara Putra Abadi

Celana jeans pensil yang berpadu dengan kaus pink longgar, serta topi putih yang tidak pernah ketinggalan, membuat Inggit terlihat cantik, tapi tidak norak. Definisi cantik untuk seorang cewek bukan hanya soal make up tebal, baju terbuka, atau bahkan, hidung mancung karena operasi. Dengan natural, dia bisa membuat mata Gara menatap lebih lama.

"Hei, Kak Gara .... Hello." Inggit menggerakan tangan saat berhadapan dengan Gara di depan pintu. "Hei. Kunaon sih? Kok bengong?"

Gara terperanjat, dia mengusap wajah. "Hei ...."

"Brayn ada?" Inggit bertanya. Dia yang dari tadi berteriak di depan rumah Brayn sedikit kesal. Sebab bukannya Brayn yang muncul, malah orang lain.

"Kata Bibi belum pulang dari kampus." Gara tersenyum. "Aku juga baru pulang ngantor barusan. Jadi nggak tahu persis ke mana dia pergi."

"Oh, ke mana ya, Kak?" Inggit terlihat bete.

"Kalian mau jalan?" Gara menebak dengan hanya melihat penampilan Inggit.

"Mau nonton. Ada film baru soalnya."

"Udah kaya pacaran aja kalian berdua." Gara menarik kemaja yang agak berantakkan ke bawah, bergaya seperti model majalan dewasa, lalu mengedipkan mata ke arah Inggit. "Aku kapan ya?"

Terdengar tawa menggema di antara mereka berdua.

Gara melangkah ke depan. Duduk di kursi kayu teras rumah. "Tunggu aja dulu. Mungkin bentar lagi pulang."

Inggit mengangguk, lalu ikut duduk di kursi lainnya. "Alea mana? Om sama Tante belum pulang?"

"Alea udah tidur dari tadi." Gara mengembuskan napas. "Kalau Mama sama Papa lembur."

Inggit mengangguk-angguk.

Mereka saling diam. Apalagi Inggit. Pusat perhatiannya masih tertuju kepada Brayn. Apa mungkin, Brayn marah soal kemarin? Setelah Brayn menelepon dan menanyakan soal Gara yang mampir ke rumah, Brayn jadi berbeda. Inggit bahkan masih kesal dengan tanggapan cowok itu tadi sore.

Kamu pulang duluan aja!

Inggit jadi pengen jitak kepala Brayn. Tapi kalau seandainya Brayn ngambek, kenapa harus separah itu sih? Padahal Gara hanya mampir sebagai tetangga, tidak lebih. Cewek itu jadi merasa bersalah.

"Kak Gara, hubungan Kakak sama Brayn sudah ada perkembangan?" Hati-hati, Inggit bertanya.

"Masih sama." Gara tersenyum. "Aku ngerti perasaan dia, kok."

"Jadi Kakak tahu soal latar belakang dia sebelumnya?" Inggit menatap Gara.

"Lumayan tahu dari Mama Anggun." Gara tersenyum. "Soal dia yang blasteran, soal dia yang content creator, soal dia yang ganteng. Meskipun, gantengnya sih masih kalah sama aku." Gara terkekeh.

"Sok kegantengan." Inggin menyenggol badan Gara. "By The Way, Kak Gara tinggal di Jakarta sama siapa? Sama Mama Kak Gara, apa gimana?"

Mulai nih si Inggit, mulut ember dan banyak tanyanya muncul di hadapan Gara. Sepertinya, dia memang berbakat jadi wartawan. Meskipun, agaknya Gara keberatan dengan pertanyaan itu. Wajahnya mendadak berubah merah.

"Duh, punten Kak. Aku udah tanya-tanya soal itu." Inggit mulai sadar sesuatu.

"Eh .... nggak apa-apa kok, Nggit." Gara menggibaskan tangan.

Ada hawa panas yang mulai menjalar.

"Sebenarnya, aku sudah pindah dari Banjaran sejak masuk kuliah." Mata Gara menatap ke depan, melihat lalu lalang kendaraan di jalan kompleks. "Hubunganku kurang baik sama Mama. Jadi dari pada bikin masalah terus, aku milih kuliah di Jakarta, ngekos. Setelah lulus, aku malah keenakan kerja di sana." Gara tertawa. "Sayang banget, rumah tangga yang berusaha Papa pertahankan, malah kandas di tengah jalan di tahun ketiga aku kuliah. Aku sendiri sudah nggak heran sih. Sejak SMP, Papa dan Mama memang sering banget berantem. Kurang harmonis. Papa yang mati-matian mempertahankan pernikahan, mungkin sudah kehabisan stok sabar." Gara menunduk, dia seperti mencoba mengingat masa-masa yang pernah dia lalui dalam kehidupannya.

My Bra (TERBIT)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt