BAB 19 - PAPA?

276 46 1
                                    

Hallo readers, My Bra akan update setiap seminggu 2 kali ya, yaitu Senin dan Kamis. So, ikutin terus. Jangan sampai ketinggalan :D

***

BAB 19

PAPA?

"Bodoh!" teriak Brayn.

Cowok itu melemparkan ponsel ke atas kasur, mengucek wajah, lalu berteriak lagi. Begitu terus hingga beberapa kali. Perasaannya tak keruan. Bahkan seluruh badan seolah menyalahkannya.

"Kenapa aku nggak bilang sama Inggit dari awal, kalau aku ketemu Joice?"

Teriakannya bergaung di dalam kamar. Penyesalan yang datang terakhir selalu menjadi sesuatu yang klise. Lucunya, penyesalan tersebut ditanggapi dengan kemarahan, seperti halnya yang Brayn lakukan saat ini. Inggit tahu kesibukan Brayn dari video penuh tawa dan mesra. Inggit marah gara-gara konten itu.

"Nggit, maafin aku. Aku tahu kamu pasti kecewa!" Brayn terlihat geregetan kepada dirinya sendiri.

Cowok itu mengambil ponsel kembali. Dia mencari nama Purno di dalam kontak, bermaksud menelepon balik. Tapi Brayn mengurungkan kembali niatnya. Inggit paling tidak suka ditelepon jika sedang marah. Brayn menganggap, tindakan Inggit yang menutup telepon secara sepihak, adalah bentuk kemarahan. Bukankah biasanya mereka akan saling bercanda ketika sedang berbincang melalui sambungan seluler?

"Kamu duluan yang tutup!" kata Inggit.

"Kamu duluan!" Brayn nggak mau kalah.

"Kamu!"

"Kamuuuuu!"

"Awas ya! Nanti nggak bakal aku traktir nonton film!"

"Biarin. Nanti aku nggak akan traktir kamu beli cilok lagi!"

Ambyar! Semuanya melebur. Candaan itu seperti sudah terhapus sejak sikap Inggit barusan melambung. Berbarengan dengan itu, suara dering telepon membuat Brayn sepenuhnya sadar. Bibirnya melebar.

Pasti Inggit! Brayn memejamkan mata kesal. Itu hanya ekspektasi. Bukan Inggit yang menelepon.

"Assalamualaikum." Suara wanita dengan aksen Sunda, terdengar dari seberang sana.

"Waalaikumsalam." Brayn menjawab sopan.

"Jang Baba, apa kabar? Masih inget sama Uwa?"

"Alhamdulillah, kabar baik, Wa." Brayn berusaha mengesampingkan masalahnya dengan Inggit. "Eh, kok Uwa tanya begitu? Bra tau ini Uwa. Kan nomornya juga Bra simpen."

"Syukur atuh Jang kalau gitu, mah." Tawa mirip Anggun menggelitik telinga Brayn. "Eh, Jang, kapan main ke sini? Sudah lama tau, Ujang sama Mamah nggak ke sini. Tidak rindu sama keluarga di Garut?"

"Brayn masih kuliah Wa. Belum libur." Brayn mengulas senyum tulus. "Semoga lebaran tahun ini Bra bisa ke sana ya, Wa."

"Uwa jadi nggak sabar," desahnya pelan.

Setelah pindah ke Bandung, Brayn seperti telah melupakan sanak saudara. Di Garut, masih ada dua Uwa, kakak dari mamanya. Wajah salah satu Uwa-nya sangat mirip dengan Anggun. Suaranya juga. Makannya, kadang Brayn merindukan mereka. Meskipun zaman dulu, Uwa sering sekali bikin sakit hati. Suka mengungkit-ngungkit hal yang berhubungan dengan papa.

"Jang Baba ...."

Brayn terperanjat. Lamunannya buyar saat suara itu kembali menyambar telinga. "Iya, Wa?"

"Ada sesuatu yang mau Uwa bicarakan."

"Tumben ...." Alis Brayn terangkat.

Setelah sekian lama tak berkomunikasi, tiba-tiba Uwa bilang begitu?

My Bra (TERBIT)Where stories live. Discover now