BAB 22 - DIA BERUBAH

277 43 4
                                    

Hallo semuanya. My Bra update senin dan kamis yesss. SO, ikutin terusssss.


***


BAB 22

DIA BERUBAH

Kamar yang lebih besar dari kamarnya sendiri, sudah Brayn tempati sejak dua jam lalu. Kasur besar berseprai putih, guling dan bantal yang harumnya segar, kini sudah menjadi tumpuan badan Brayn yang terbaring. Meski serba enak, matanya tak kunjung tertutup.

Pikirannya masih kalut. Tak dipungkiri, jalan-jalan mengelilingi Dago, menuju jalan Braga, alun-laun, bahkan sampai ke gang-gang sempit untuk merasakan sensasi dinginnnya Bandung di malam hari, cukup membuatnya bisa melepas beban. Namun, bukan berarti beban itu benar-benar hilang. Bukankah setelah rehat seperti ini, pertengkarannya dengan sang mama justru semakin terbayang?

"Kenapa sih Ma, harus menyembunyikan segala hal soal Papa?" Langit-langit kamar bisa-bisa jatuh cinta sama Brayn karena dilihatin terus. "Ma, Ma. Mama sering bilang kalau Mama sebenarnya sayang sama aku. Tapi dari dulu nggak ada hal yang bisa yakinin aku soal itu."

Brayn mengusap rambut yang berantakkan. "Aku hanya ingin nanya aja sama dia. Kenapa dia ninggalin kita? Itu aja!"

Masih teringat suara Uwa yang bergetar menjelaskan soal Papa yang datang ke Garut. Brayn saja terkejutnya minta ampun, apalagi jika bertemu langsung dengan lelaki itu? Mungkin reaksi anak yang tidak bertemu Bapak selama belasan tahun akan kayang sambil lari.

Kali ini, Badan Brayn seperti dibakar perlahan dari bawah. Padahal ruangan ini ber-AC. Ini AC-nya rusak, atau tubuh Brayn yang rusak? Cowok itu akhirnya bangun dari tempat tidur empuk. Memilih keluar dari kamar dengan tujuan untuk mencari angin. Dia bahkan berpikir untuk keluar rumah, siapa tahu satpam masih melek, dan Brayn bisa sedikit mengobrol?

Ruang depan rumah Joice sudah sepi. Setiap lampu yang ada di sudut ruangan, sudah dimatikan. Tapi Brayn terkejut saat lampu di tengah rumah masih menyala.

Ini jam 1 malam, ada seseorang yang belum tidur?

Ketika makin dekat, Brayn mulai bisa menebak sosok yang sedang duduk dengan punggung menyender ke kursi itu. Televisi juga nyala tanpa ditonton. Sosok itu justru sedang mengusap-usap sebuah pigura.

Sadar akan keberadaan orang lain, Malik terperanjat. "Kamu belum tidur?"

Brayn yang sudah berada di depan Malik, dengan hanya mengenakan kolor dan kaus putih, menggeleng. "Om sendiri?"

Dia mengulas senyum. "Om sudah biasa."

Brayn tersenyum tipis.

"Duduk." Malik mempersilahkan Brayn.

Tanpa menolak, cowok itu mengangguk, memilih duduk di hadapan Malik. Tentu saja dengan badan tegang. Lagian, dia sok-sok-an berani, padahal dadanya berdegup kencang. Badannya yang terasa panas ketika di kamar, malah semakin menjadi-jadi.

"Sejak kapan kenal Joice?" tanya Malik dengan mata masih fokus ke benda di tangannya.

"Belum satu bulan, Om."

"Hebat!" Malik menyimpan pugura di atas meja. "Joice nggak pernah bawa laki-laki ke rumah. Meskipun dia terlihat liar, tapi dia tidak pernah sembarangan memilih orang." Malik menyeruput teh yang terlihat sudah dingin. "Kamu suka sama dia?"

Pertanyaan Malik terasa ngawur di telinga Brayn. Cowok itu benar-benar tidak mempunyai kapasitas untuk menjawab. Bagaimana mau berkata-kata soal Joice? Perkenalan itu belum lama terjadi. Di dalam pikirannya, Joice masih abu-abu. Bahkan belum ada nama cewek itu di otak dan hatinya.

My Bra (TERBIT)Where stories live. Discover now