CHAPTER 01

3.1K 305 78
                                    

Tubuh kurus Haeyoung memang sudah bawaan sejak lahir. Tapi jika ia mau makan banyak dan didampingi susu, pipinya bisa sedikit lebih gempal dan tidak tampak proporsional dengan bagian tubuh lainnya. Hoseok kalau sedang kambuh jahilnya, ia akan menjadikan pipinya sasaran empuk untuk dicubit dengan bar-bar.

Tapi belakangan ini, mau sebanyak apa pun makanan yang Haeyoung konsumsi, mau sampai berliter-liter pun susu yang mendampingi, Haeyoung tidak pernah mendapati pipinya gempal lagi. Malah tampak lebih tirus dibanding saat Haeyoung iseng melakukan diet ketika kuliah dulu.

Kantung mata itu semakin menghitam. Berdampingan dengan warna biru keunguan yang menghiasi sudut matanya. Warna lain yang baru timbul setelah hantaman kepalan tangan yang diterimanya semalam.

Haeyoung mematut diri di depan cermin kamar mandi. Tanpa busana, guna meneliti seberapa banyak warna serupa yang timbul setelah hal menyakitkan yang kembali didapatkannya semalam.
Jika bicara rasa sakit, tentu saja apa yang dialaminya memang sangat menyakitkan. Terlampau menyakitkan hingga Haeyoung sering mempertanyakan seberapa kuat dirinya dalam menoleransinya. Jika orang lain, Haeyoung yakin takkan sanggup bertahan seperti yang masih dilakukannya sampai detik ini.

Dalam menit ke sekian setelah Haeyoung menenggelamkan dirinya dalam hening, pintu kamar mandi terbuka. Seorang pria berpostur tinggi masuk dengan langkah sedikit kikuk. Pria itu tidak mengenakan apa pun selain boxer ketat berwarna hitam, melangkah masuk lalu memeluk Haeyoung dari belakang.

Haeyoung tahu pelukan yang diperolehnya juga disertai dengan perasaan posesif yang ingin pria itu salurkan padanya. Tidak ada yang boleh memeluknya seperti itu selain dirinya. Tidak ada yang boleh mengendus harum ceruk lehernya selain dirinya.

"Aku mencintaimu," bisik pria itu dengan suara paraunya. Menyihir Haeyoung untuk kembali memaklumi bahwa itu adalah alasan atas segala yang Namjoon—nama pria itu—lakukan selama ini.

"Maafkan aku." Namjoon kembali berbisik. Jemarinya kini bergerak. Menelusuri setiap warna di tubuh wanita tercintanya. Dari yang paling atas hingga bagian pinggang. Warna dari sisa kemarahannya semalam.

Namjoon terus membisikkan kata maaf sembari menghujani Haeyoung dengan kecupan. Setiap inchi tubuh wanita itu seolah ingin disambangi oleh bibir tebalnya, namun tanpa melepas pelukan yang justru terasa semakin posesif.

Haeyoung tidak melakukan apa pun setelahnya. Menerima dengan pasrah kala tangan Namjoon sudah bergerilya ke mana-mana. Matanya terpejam, satu desah lembut lolos begitu saja saat jemari Namjoon berakhir pada bagian paling intim dari tubuhnya.

Apa yang mereka lakukan semalaman kembali diulangi. Padahal saat ini juga belum genap satu jam sejak keduanya terbangun dari tidur panjang mereka.

Namjoon kembali membuat Haeyoung terbuai, kembali membuatnya mendesahkan namanya berat, namun tidak disertai dengan tangis pilu sebab kini ia melakukannya dengan penuh kelembutan.

Haeyoung hampir tidak pernah berakhir marah lalu pergi meninggalkan meski tak terhitung berapa kali Namjoon menyakitinya bahkan tanpa alasan yang jelas. Semalam menorehkan luka, lalu menyembuhkan keesokan harinya. Dengan cara paling memabukkan, hingga Haeyoung dibuat kecanduan dibuatnya.

***

"Sekian untuk kelas hari ini. Jangan lupa bawa hasil ujian kalian pada pertemuan selanjutnya."

Jika tidak sedang bersama Namjoon, Haeyoung disibukkan dengan pekerjaannya sebagai pengajar. Bukan pengajar dari pendidikan formal di sekolah, namun pengajar di kelas privat salah satu hagwon ternama di Gangnam. Tiga tahun mengabdikan diri hagwon tersebut, tapi penghasilannya sudah bisa dipakai menyewa apartemen dengan deposit hampir lima puluh juta won sejak tahun lalu. Padahal, jam mengajarnya tidak pernah lebih dari lima jam per hari.

PORCELAINE [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now