"Ssaem, ini dari ibuku."

Yang baru saja bicara itu Kim Taehyung, siswa kelas tiga dari SMA Nakwon—sekolah menengah paling elit di Seoul. Pemuda bersurai gelap itu menghampiri Haeyoung di meja guru, lalu memberikan satu kotak beludru kecil berwarna ungu berhiaskan pita putih.

Kepala Haeyoung menoleh ke arah pintu, memastikan siswa yang lain sudah keluar semua dari kelas. Begitu memastikan situasi aman, ia pun tak lantas langsung menerima kotak itu begitu saja.

"Kau tahu orang tua tidak boleh memberikan hal seperti itu padaku, 'kan?" Ada kode etik yang harus Haeyoung ikuti. Ia tidak mau hanya karena kotak kecil yang isinya mungkin tidak seberapa, karirnya di sana terancam. Sebab meski tempat ia mengajar bukan di sekolah formal, tapi hagwon di Korea tetap diawasi oleh dinas pendidikan.

"Aku tahu. Karena itulah aku memberikan ini saat yang lain sudah pulang." Taehyung begitu santai menanggapi. Ia hanya menyampaikan apa yang dititipkan ibunya untuk Haeyoung, sebagai ungkapan terima kasih karena materi yang diajarkan selama les jauh lebih baik dibanding dengan yang diajarkan di sekolah sekelas Nakwon sekali pun.

"Kau pun pasti tahu itu juga tidak memberikan perbedaan berarti." Haeyoung bersandar pada dinding di samping kanannya. Satu tangan dimasukkan ke saku blazzer hitam yang dikenakannya, satunya lagi ditumpukan pada meja tinggi yang lebih mirip podium untuk pidato. "Jadi katakan pada ibumu bahwa aku minta maaf karena tidak bisa menerima niat baiknya. Kalau kau pribadi ingin berterima kasih atas apa yang kau dapatkan selama berada di kelasku, kau bisa lakukan dengan cara yang lain."

Satu alis Taehyung seolah terangkat otomatis. Wajah serius yang ditampakkan gurunya saat ini berbeda dengan yang bisa Taehyung lihat selama Haeyoung mengajar. Tipikal wajah orang yang ingin bernegosiasi dalam situasi dirinya sudah tahu kemenangan telah berada di tangannya.

"Cara yang lain?"

Haeyoung mengangguk. "Itu juga kalau memang mau berterima kasih."

Dalam sembilan belas tahun hidupnya, Taehyung belum pernah bertemu seseorang seperti Haeyoung. Cantik, muda, cerdas, dan persuasif. Apa yang baru saja dikatakannya adalah salah satu trik yang biasa dilakukannya. Memancing dengan hal kecil, mengulur untuk mengundang rasa penasaran, lalu sulit bagi lawan bicara untuk lepas dari jeratnya.

"Apa?"

Lantas bukannya menjawab, Haeyoung malah menyeringai tipis. Ia tidak berniat memberikan jawabannya sekaligus. Taehyung pasti akan sebal karenanya, tapi memang itulah yang Haeyoung inginkan.

"Nanti kuberitahu," kata Haeyoung santai. Kedua tangannya lalu dibuat sibuk untuk membereskan perangkat mengajarnya di atas meja. "Yang harus kau lakukan lebih dulu adalah bawakan hasil ujian yang lebih baik dari Jungkook."

Haeyoung meninggalkan Taehyung yang masih terpaku di tempatnya. Ponsel di saku terus bergetar. Tak pernah berhenti meski Haeyoung terus mengabaikannya. Baru setelah memastikan dirinya luput dari pandangan siswanya itu, Haeyoung menjawab panggilan telepon dari seseorang yang terkadang dibencinya, tapi lebih sering dicintai oleh dirinya.

"Aku baru keluar kelas." Haeyoung tidak menyapa sama sekali. Tidak perlu, dan takkan didengar. "Kau di mana?"

Haeyoung hanya menaruh asal perangkat mengajarnya di meja kerjanya yang di kantor, lalu menyambar tas selempang coklatnya untuk bergegas keluar. Langkah yang dirajut terburu segera membawanya ke halaman depan di mana ia memarkirkan mobilnya di sana.

Namjoon sudah bersandar di mobil SUV yang baru dibeli Haeyoung tiga bulan yang lalu. Pria itu juga yang membujuk Haeyoung untuk membeli kendaraan tersebut dengan alasan tidak tega melihat kekasih tercintanya harus naik kendaraan umum jika ingin ke mana-mana.

PORCELAINE [TELAH TERBIT]Onde histórias criam vida. Descubra agora