41. Tanpa Pamit

488 27 4
                                    

Saat aku membuka pintu gerbang yang tingginya sepinggangku, aku melihat pak Ramdan sedang berdiri di depan rumah. Aku menutup gerbangnya lagi dan berjalan kearah pak Ramdan. Aku menyalimi punggung tangannya. Aku sampai dirumah ibu pukul tujuh malam. Aku juga membawa makanan yang disukai ibu dan ayah. Sebelum sampai dirumah ibu, aku menyempatkan diri pergi ke masjid yang ada di pinggir jalan untuk menunaikan shalat maghrib.

Aku yang berdiri di depan pak Ramdan hanya bisa tertunduk. Aku tidak berani menatap kedua manik mata pak Ramdan. Aku tersentak ketika pak Ramdan menyentuh daguku dan menyuruhku untuk menatapnya. Dia menatapku dengan lekat. Aku pun langsung mengalihkan tatapanku ke sembarang arah.

"Sudah shalat?" tanyanya. Aku mengangguk. "Ya udah, ayo masuk!" Pak Ramdan memegang lengan kananku dan menariknya. Menuntunku masuk ke dalam. Perlakuan yang diberikan pak Ramdan saat ini, membuat aku takut. Entah apa alasannya, tapi aku merasa takut. Pak Ramdan tidak bertanya mengapa aku telat dan tidak bertanya mengapa aku tidak membalas pesannya. Pak Ramdan juga tidak memarahiku.

Saat sudah berada di dalam, tepatnya diruang tengah. Aku memberi salam. Ibu keluar dari ruang makan sambil menjawab salamku dan beliau menyambutku dengan hangat. Aku menyalimi punggung tangannya. Lalu, aku melihat bu Arum sedang membantu menyiapkan makan malam.

"Ibu, ini." Aku memberikan dua bungkus yang berisi makanan ke ibu. Ibu menerimanya. Aku tersenyum. Aku senang ibu masih memperlakukanku dengan sama seperti waktu itu dan masih menganggapku sebagai seorang anak, bukan menantu meskipun ada bu Arum yang kini menjadi menantu juga. Tidak ada yang berubah.

"Terimakasih, sayang." Ibu mengecup keningku.

"Rahma, sudah datang?" Bu Arum yang baru saja menyelesaikan tugasnya, menghampiriku, ibu, dan pak Ramdan. Aku mengangguk sebagai jawaban. Bu Arum tersenyum. Dia tiba-tiba saja merangkulku dan mengajakku ke ruang makan. Bu Arum memperlakukan dengan baik. Seolah-olah aku adalah orang asing seperti seorang tamu, bukan sebagai istri pak Ramdan ataupun bagian dari keluarga pak Ramdan.

Satu pertanyaan terlintas di benakku. Apa ibu sudah memberitahu semua orang kalau aku sedang hamil?

Tidak lama kemudian, ayah datang. Beliau baru pulang dari kantor. Makanan sudah siap, tapi adzan isya telah berkumandang. Semua orang bersiap-siap untuk melaksanakan shalat isya. Setelah shalat isya, barulah semua orang berkumpul di meja makan, termasuk aku.

Hari ini menjadi yang kesekian kalinya aku makan malam bersama keluarga pak Ramdan dan bu Arum, tanpa kak Fariz. Namun, kali ini bu Arum yang melayani pak Ramdan layaknya seorang istri. Aku akui bu Arum memerankan peran istri dengan sangat baik. Dan tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku hanya bisa terdiam sambil menyaksikannya. Sesekali aku menjawab pertanyaan ayah dan ibu ketika beliau bertanya padaku.

***

"Rahma," Pak Ramdan masuk ke dalam kamar. Dia pun menutup kembali pintu kamarnya. Malam ini, kami akan menginap dirumah ibu. Pak Ramdan ikut duduk dilantai, di sampingku. "Kenapa kamu tidak membalas pesan saya? Saya telepon, kamu tidak menjawab. Kamu kenapa? Kamu marah sama saya?" Pak Ramdan baru mengajukan pertanyaan setelah dua jam berlalu. Rupanya sedari tadi pak Ramdan menahan rasa penasaran dan pertanyaannya.

Pandanganku lurus ke depan. Tatapanku kosong. Pikiranku melayang-layang.

"Rahma?" Pak Ramdan memanggilku lagi. Tapi, panggilan kedua sambil memegang bahuku.

"Ya?"

"Kamu kenapa? Ada masalah apa? Cerita sama saya."

"Bisakah pak Ramdan izinkan Rahma untuk pergi sementara dari hidup pak Ramdan?" Aku mengajukan pertanyaan yang tidak terduga bagi pak Ramdan.

Bersanding DenganmuWhere stories live. Discover now