8. Rencana Menginap

391 27 0
                                    

Sepulang sekolah, aku, Yumna dan beberapa siswa pergi ke masjid yang dekat dengan sekolah karena muadzin telah selesai mengumandangkan adzan beberapa detik yang lalu. Aku melihat Radit sedang berjalan beriringan bersama ustadz Ramdan. Mereka sedang berbincang-bincang, terlihat sangat akrab. Yumna menarik lenganku agar segera melepas sepatu dan mengambil wudhu. Selesai mengambil wudhu, tidak lama kemudian iqomah dikumandangkan. Aku memakai mukenaku dengan cepat dan mengambil shaf paling depan dibagian makmum untuk perempuan bersama Yumna.

Selesai shalat. Aku menengadahkan kedua tanganku, memanjatkan sebuah doa kepada-Nya. Begitu juga dengan Yumna. Selesai berdoa, kulihat beberapa orang mulai pergi satu per satu meninggalkan masjid. Sedangkan aku dan Yumna masih betah berlama-lama di masjid. Entah mengapa, aku merasa lebih nyaman berada di masjid. Mungkin karena suasananya yang tenang, yang membuat merasa nyaman dan membuatku tidak ingin pulang ke rumah.

Di dalam masjid, kami tidak berbuat apa-apa. Kami berdua hanya duduk sambil meluruskan kedua kaki kami masing-masing. Biasanya aku dan Yumna membicarakan tentang boy band Korea, kini kami sudah jarang membicarakan Kpop.

"Yumna, boleh nggak aku nanya sesuatu?"

"Apa?"

"Waktu pertama kamu pakai hijab, apa alasan kamu?"

Yumna terlihat berpikir sebentar sebelum menjawabnya. Lalu, dia bergumam panjang. "Apa, ya?" katanya sambil menyengir. Aku tidak bereaksi apapun. Aku masih menunggu jawaban yang akan diberikan Yumna.

"Alasan pertama gue memutuskan untuk berhijab, mungkin lo udah tau. Ya, karena Radit. Tapi ... kalau dipikir-pikir lagi, seharusnya alasan kita berhijab bukan karena cowok. Maka dari itu, selama satu bulan, bahkan lebih. Gue memutuskan berhijab dan berniat karena Allah, Ma. Makanya sampai sekarang gue betah dengan kerudung gue dan pakaian gue yang sekarang. Meskipun perilaku gue yang masih berbuat salah baik secara langsung ataupun tidak, seenggaknya gue menutup aurat dan ada niatan buat memperbaiki diri gue."

"Walaupun orang-orang, teman-teman, bahkan lo memikirkan alasan gue menutup aurat karena cowok, gue enggak masalah. Karena yang tau niat baik gue cuma gue dan Allah. Selebihnya, terserah apa kata orang. Tugas gue hanya mengikuti apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Insya allah," jawab Yumna menjelaskan panjang lebar. Aku tertegun dengan jawaban yang diberikan oleh Yumna.

"Maafkan aku," kataku. Entah mengapa aku jadi merasa bersalah. Yumna tersenyum sambil memegang bahuku. "Tidak masalah. Kan, sekarang kita sahabat. Insya allah, semoga kita bisa menjadi sahabat surga, ya?"

Aku mengangguk. "Insya Allah. Aamiin," kataku sambil mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku.

Saat kami sedang berbincang-bincang. Suara seorang mengaji dengan merdunya membuat kami langsung terdiam. Menikmati lantunan ayat suci Al-Qur'an yang sedang dilantunkan oleh seseorang. Bukan hanya ayatnya saja yang sedang kami nikmati, tetapi suaranya juga yang merdu. Aku langsung merasakan ketenangan.

Yumna bergerak kearah tirai sebagai pembatas antara shaf laki-laki dengan perempuan. Yumna membuka sedikit tirai dan mengintip. Karena aku juga merasa penasaran, aku pun mengikuti Yumna. Ternyata Raditlah yang sedang melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan merdu.

Perasaan tadi Radit bersama ustadz Ramdan, batinku.

Kulihat Radit menoleh ke kiri. Ke arah kami yang sedang mengintip. Radit terlihat kaget sambil beristighfar. "Kalian sedang ngapain?" tanyanya.

"Maaf kami sudah mengganggumu mengaji," kataku dan dengan cepat aku mengajak Yumna untuk mengakhiri acara intip-mengintip. Yumna menutup kembali tirainya.

Aku segera melepas mukena masjid yang kupinjam untuk shalat. Aku menggantung mukena yang kupakai ke tempat semula tadi aku ambil. Begitu juga dengan Yumna. Kami berdua keluar dari dalam masjid bertepatan dengan Radit yang juga keluar dari dalam.

Radit berjalan menghampiriku dan Yumna, lalu berkata, "Kalian berdua belum menjawab pertanyaan saya."

Aku dengan cepat melangkahkan kakiku menuju rak sepatu dan mengambil sepatuku. Aku duduk tidak jauh dari rak sepatu dan memulai memakai kaos kakinya. Aku kira Yumna mengikutiku, ternyata tidak, ia malah sedang menanggapi pertanyaan Radit.

"Masa bodolah," gumamku. Kemudian seseorang duduk di sebelahku dengan jarak satu meter dariku. Aku menengok dan mendapati ustadz Ramdan. Aku langsung memalingkan wajahku ketika ustadz Ramdan melihat ke arahku juga.

"Rahma, jadwal ngaji hari ini, lebih awal. Tadi saya sudah bilang ke Zaki, dan dia setuju. Kamu, tidak masalah?" katanya.

Aku menatap ustadz Ramdan. "Ustadz Ramdan ngajak saya bicara?" kataku sambil menunjuk diriku sendiri.

Ustadz Ramdan mengangguk. "Memangnya yang namanya Rahma di sini ada lagi selain kamu? Toh, saya bicara sambil melihat lawan bicara saya. Kalau saya bicara sama yang lain, nggak mungkin saya melihat ke arah kamu kan, Rahma?"

"Ustadz Ramdan, kok, ngegas, sih? Biasa saja dong, jawabnya?" kataku.

"Saya sudah biasa saja. Kamunya saja yang menganggapnya begitu," katanya, lalu dia berlalu pergi menghampiri Radit yang masih berbicara dengan Yumna. Entah apa yang sedang dibicarakan oleh Yumna dengan Radit. Aku tidak terlalu memperdulikan. Fokusku saat ini sedang ke ustadz Ramdan. Tumben sekali ustadz Ramdan berbicara sedikit informal ke diriku.

***

"Kalau kak Zaki pergi menginap di puncak selama tiga hari, lalu aku di rumah sendiri, gitu?" tanyaku pada kak Zaki yang sedang duduk di sofa dua dudukan sambil menonton TV.

Aku tidak masalah kalau kak Zaki ingin pergi ke puncak bersama teman-temannya dan menginap beberapa hari di sana. Yang jadi masalah adalah ummi dan abi sedang pergi ke Malang. Ummi dan abi baru pulang ke rumah sekitar dua minggu lagi. Aku tidak ikut karena sebentar lagi aku akan mengikuti UTS. Jadi, jika kak Zaki pergi menginap, mau itu tiga hari atau lebih, aku akan sendiri di rumah dan aku tidak berani jika sendirian di rumah.

"Hanya tiga hari, dek. Masa tinggal sendiri di rumah selama tiga hari enggak berani? Kamu kan, sudah dewasa," jawabnya dengan mudahnya.

Suara ketukan pintu yang disusul dengan salam membuatku beranjak dari sofa untuk membukakan pintu sambil menjawab salamnya. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Baru pukul empat sore dan ustadz Ramdan sudah berada di depan pintu dengan wajah datarnya. Aku mempersilakan ustadz Ramdan masuk ke dalam dan mempersilakannya untuk duduk dulu. Setelah itu, aku pamit masuk ke dalam untuk mengambil wudhu. Ustadz Ramdan mengangguk. Dia menunggu di ruang tamu sendirian.

"Siapa, dek?" tanya kak Zaki.

"Pak ustadz Ramdan," jawabku singkat sambil berlalu pergi ke dapur. Sebelum mengambil wudhu, aku membuatkan minuman terlebih dulu supaya setelah mengambil wudhu bisa langsung dibawa ke ruang tamu dan memberikannya pada ustadz Ramdan juga kak Zaki.

Sekembalinya aku dari dapur sambil membawa nampan yang berisi tiga gelas minuman dan dua piring cemilan. Kak Zaki sudah berada di ruang tamu menemani ustadz Ramdan. Mereka menghentikan obrolan ketika aku datang. Aku menaruh dua gelas minuman di atas meja.

"Gimana, Ramdan? Bisa kan, Rahma menginap di rumah kamu? Untuk tiga hari saja?" Aku mendelik ke arah kak Zaki. Tidak percaya dengan kak Zaki yang menitipkan diriku menginap di rumah ustadz Ramdan.

"Saya tidak bisa langsung mengiyakan. Saya butuh izin dulu dari orang tua saya yang ada di rumah dan juga orang tua kamu," kata ustadz Ramdan.

"Saya sudah bilang ke abi. Awalnya sih, abi memang menolak. Tapi, akhirnya beliau setuju. Jadi, kamu tinggal minta izin dari orang rumahmu," jelas kak Zaki. Aku menggeleng-geleng heran. Kak Zaki benar-benar niat.

"Tapi, sepertinya tidak dengan Rahma," kata ustadz Ramdan. Baru kali ini ustadz Ramdan peduli dan peka denganku.

"Daripada dia tidur sendirian di rumah. Yang ada nanti dia begadang," kata kak Zaki.

"Kak Zaki," Aku sengaja memanggil namanya sebagai tanda protesku. Tetapi, dihiraukan oleh kak Zaki.

***

Telah di revisi.

Bersanding DenganmuWhere stories live. Discover now