16. Guru PAI Baru

337 25 1
                                    

Kukira ummi dan abi akan pulang dua hari lagi. Ternyata, mereka kembali ke Jakarta dua hari lebih cepat dari rencana. Ummi dan abi datang ke rumah sakit bersama keluarganya ustadz Ramdan. Dan mereka pun sudah mendengar tentang kejadian yang sudah menimpa diriku. Ustadz Ramdan sudah memberitahu dan menjelaskannya ke kedua orang tuaku kemarin saat aku dan kak Zaki sudah tertidur.

Saat datang, ummi langsung memelukku. Begitu juga dengan abi. Bahkan ummi sambil meneteskan air mata. Menangis. Aku memeluk ummi dengan erat. Lima menit berpelukan, ummi menguraikan pelukannya. Sebelumnya abi sudah tidak lagi memelukku. Abi hanya mengusap puncak kepalaku yang tertutup kerudung.

Orang tua ustadz Ramdan ikut memelukku. Memberikan pelukan seorang ibu terhadap anaknya. Sama seperti ummi, pelukan ibunya ustadz Ramdan sangat hangat dan menenangkan. Aku merasa seperti mendapatkan kekuatan lebih selain dari orang tuaku. Betapa beruntungnya aku mendapatkan dua kasih sayang dari dua orang ibu yang berbeda. Yang satu ummi-ibu kandungku sendiri, dan yang satu lagi ibunya ustadz Ramdan.

Selama lima belas menit, aku, ummi, dan ibu berbincang-bincang di dalam kamar inapku. Sedangkan abi, ayah, kak Fariz, dan ustadz Ramdan keluar dari dalam kamarku. Membiarkan para perempuan berbicara perihal perempuan.

Tidak lama kemudian, kak Zaki membuka pintu kamarku. Dia tidak tahu kalau ada ummi dan ibu di kamar. Katanya, di luar tidak ada siapa-siapa yang duduk dibangku tunggu yang ada di depan kamar.

Kak Zaki menyalimi ummi dan ibu bergantian. Lalu, aku menyalimi punggung tangannya. Kemudian, kak Zaki berlutut di hadapan ummi. Meminta maaf sambil menangis. Aku baru pertama kali melihat kak Zaki seperti itu. Raut wajahnya memperlihatkan kalau dia sangat menyesal. Ummi dan ibu tertegun melihat kak Zaki yang seperti itu.

"Zaki benar-benar minta maaf, ummi. Zaki sudah gagal menjaga Rahma. Sudah gagal menjalankan amanah yang diberikan ummi untuk menjaga Rahma. Zaki sangat menyesal ummi. Tolong maafkan Zaki, hiks."

Ummi menyuruh kak Zaki untuk berdiri. Beberapa detik kak Zaki kekeuh, masih berlutut di hadapan ummi sampai ummi memaafkannya.

"Ummi maafkan, Zaki. Kamu nggak gagal, Zaki. Enggak. Justru ummi bangga karena kamu selalu menjaga Rahma, bertanggung jawab menjaga Rahma," kata ummi sambil membantu kak Zaki untuk berdiri. Baik aku maupun ibu, ikut menangis melihat kak Zaki yang begitu menyesal dan sangat merasa bersalah. Padahal, kejadian yang terjadi padaku bukan salahnya kak Zaki. Semua kejadian yang sudah terjadi itu sudah menjadi takdirku supaya aku lebih bisa menjaga diriku, dan aku percaya semua ada hikmahnya.

***

Satu minggu kemudian. Aku sudah kembali ke sekolah seperti biasa. Yumna menyambutku dengan pelukan hangat sekaligus pelukan rindu, katanya. Terakhir kali aku bertemu Yumna sekitar dua hari yang lalu, dan setelah itu, tidak bertemu lagi. Baru sekarang kami bertemu.

Saat Yumna datang menjenguk. Dia membawakanku setumpuk buku catatan yang harus kusalin semua ke buku catatanku. Sebenarnya aku bisa saja masuk ke sekolah lebih awal. Tapi, karena Yumna datang dengan membawakanku lima buku catatan dengan mata pelajaran yang berbeda-beda, aku pun memutuskan untuk menunda datang ke sekolah lebih awal. Tolong jangan ikuti perbuatan burukku ya, kawan-kawan!

"Selama lo nggak masuk sekolah, gue jadi punya banyak cerita yang harus di ceritakan. Pas main ke rumah lo, gue kurang puas bercerita, soalnya ...." Kalimat yang akan dikatakan Yumna selanjutnya tergantung karena sudah ada guru masuk ke kelas.

Mataku melebar saat mendapati ustadz Ramdan-lah yang memasuki kelas. Jadwal pelajaran di jam pertama adalah pelajaran pendidikan agama islam. Guru yang biasa mengajar PAI adalah pak Mahdi. Tapi, malah ustadz Ramdan yang masuk ke kelas, bukan pak Mahdi.

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh," Ustadz Ramdan memberi salam.

"Wa'alaikum salam warrahmatullahi wabarakatuh," jawab kami serentak.

"Karena pak Mahdi sudah pensiun dari kegiatan mengajar. Jadi, mulai hari ini saya akan menggantikan posisi beliau untuk mengajar kalian, membagikan ilmu yang saya dapati dan saya miliki. Semoga bermanfaat untuk kalian semua," jelas ustadz Ramdan. "Nama saya Fahri Ramdani. Kalian bisa memanggil saya dengan nama pak Fahri atau pak Ramdan," katanya lagi.

Mungkin mulai hari ini, menit ini, bahkan detik ini. Aku akan memanggilnya dengan pak Ramdan. Bukan lagi pak ustadz Ramdan ataupun ustadz Ramdan.

"Saya punya tata tertib sendiri untuk kelas yang saya ajar. Jadi, tolong kalian semua ikut berpartisipasi dan juga mentaati tata tertib yang saya berikan selama saya dikelas sebagai guru," kata pak Ramdan. "Sebelumnya, ada yang ingin ditanyakan ke saya?"

"Saya," Aku melihat Naina mengangkat tangan kanannya. "Saya ingin bertanya. Pak Fahri, bapak sudah punya istri?" tanyanya.

Kulihat pak Ramdan tertegun dengan pertanyaan yang diberikan oleh salah satu muridnya. Mungkin sebelumnya pak Ramdan belum pernah mendengar pertanyaan privasi dari murid yang dia ajar sebelum jadi guru sekolah.

Aku melihat sekeliling kelas kembali menatap pak Ramdan. Menunggu bahkan penasaran dengan jawaban yang akan di sampaikan pak Ramdan. Termasuk Yumna. Tapi, tidak dengan diriku.

"Saya belum memiliki istri. Tapi, saya sudah memiliki calonnya." jawab pak Ramdan.

"Siapa calonnya, pak? Cantik tidak? Atau masih cantikan saya?" Farah-lah yang bertanya. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala. Ada-ada saja. Beberapa teman sekelasku ada yang menyoraki Farah atas perkataannya.

"Mau saya kasih contoh seperti apa wanita yang akan saya jadikan istri?" Aku tidak menyangka pak Ramdan akan memberikan jawaban yang menurutku blak-blakan. Semua teman sekelasku mengangguk kompak.

"Rahma," katanya. Semua langsung menatap kearahku. Aku langsung membelalakan mata tidak percaya.

"Seperti Rahma, pak?" tanya Yumna secara spontan. Pak Ramdan mengangguk. "Berarti lebih muda dari pak Ramdan, dong?" tanya Yumna lagi. Benar-benar jiwa kepingin tahunya keluar.

"Tapi, saya tidak tau wanita yang akan saya jadikan istri itu bersedia atau tidak. Saya sedikit tidak yakin," kata pak Ramdan.

"Kalau wanita itu tidak bersedia. Saya bersedia kok, jadi istri pak Fahri," kata Farah. Jawaban Farah mendapatkan sorakan dari teman-teman. Aku hanya menyengir. Pak Ramdan hanya terkekeh sebagai tanggapan atas perkataan Farah.

***

Note: PAI singkatan dari Pendidikan Agama Islam

Bersanding DenganmuWhere stories live. Discover now