15. Untuk Pertama Kalinya.

353 26 1
                                    

Saat aku membuka mata. Yang kulihat adalah ustadz Ramdan. Dia sedang membaca Al-Qur'an surat Al-Mulk. Suaranya yang merdu membuat hatiku tenang dan damai. Aku melihat sekeliling kamar inapku. Aku tidak menemukan kak Zaki berada di sini.

Sejak kemarin. Kak Zaki selalu minta maaf sambil menangis ke aku. Kejadian kemarin sore, di mana kejadian yang cukup aku dan kak Zaki sesali. Membuat kak Zaki selalu merasa bersalah, terus bersalah. Padahal kejadian kemarin, bukan sepenuhnya salah kak Zaki. Kejadian kemarin sudah menjadi takdirku yang diberikan Allah. Aku yakin dan percaya, dibalik semua kejadian tersebut ada hikmahnya. Meskipun, aku harus terus mengingat kejadian itu.

Aku merasa bersalah ke kak Zaki yang selalu menyalahkan dirinya. Belum lagi kedua orang tuaku yang sedang berada di luar kota. Mereka belum tahu tentang kondisiku saat ini. Dan, entah mengapa aku merasa malu ke ustadz Ramdan. Kejadian yang aku alami kemarin, ustadz Ramdan mengetahuinya.

Ustadz Ramdan duduk dibangku yang berada di bawah bangsalku. Saat dia menoleh kearahku, aku segera memalingkan wajahku. Mungkin dia tahu aku sedang memerhatikannya.

"Kamu sudah bangun, Rahma?" tanyanya. Lalu melihat kearah jam yang melingkar dipergelangan tangannya. Aku melihat jam di dinding. Sudah pukul sembilan pagi.

"Kak Zaki, di mana dia?" tanyaku. Aku menatap kearahnya karena ustadz Ramdan sedang mengajakku berbicara.

Ustadz Ramdan menutup Al-Qur'annya dan dia beranjak dari duduknya menghampiriku. Menaruh Al-Qur'an kecil di atas nakas.

"Dia sedang pergi ke kantornya. Katanya, ada sesuatu yang harus diurus." jawabnya. "O iya, nanti ibu sama Fariz akan datang ke sini. Kamu, nggak masalah kan?"

"Tentu saja tidak masalah. Malah, saya senang." kataku. Tentu saja aku merasa senang ketika ibu akan datang. Karena saat ini aku sedang membutuhkan sosok seorang ibu untuk memelukku. Ummi sedang tidak berada di sampingku, setidaknya pelukan ibu ustadz Ramdan dapat menenangkanku.

"Syukurlah. Mungkin mereka akan sampai sekitar lima belas menit lagi. Karena Fariz sudah menghubungi saya tiga puluh menit yang lalu. Saat kamu masih tertidur," jelasnya.

"Emm ... pak ustadz Ramdan, tidak pergi mengajar?"

"Saya sudah izin. Oh, iya. Saya baru ingat. Yumna menghubungi saya menanyakan kamu. Ponselmu tidak aktif, dan dia tidak tahu nomor ponsel kakakmu."

Aku baru teringat akan ponselku. Ponselku berada di atas tempat tidurku. Baterainya tersisa lima belas persen. Aku lupa men-charger ponselku setelah selesai melakukan panggilan video call bersama ummi.

Ummi. Pasti ummi merasa khawatir karena dari kemarin aku tidak menghubunginya. Terakhir kali, kemarin setelah shalat ashar. Kulihat ustadz Ramdan sedang memerhatikanku yang terdiam. Tidak berkomentar apapun.

"Ada yang kamu pikirkan, Rahma?" tanyanya.

"Ummi. Pak ustadz, saya belum menghubungi ummi sejak kemarin malam. Terakhir kali, setelah shalat ashar. Sebelum kejadian itu terjadi," kataku.

"Kalau begitu, gunakan ponsel milik saya. Ummi dan abimu pasti khawatir dengan keadaanmu. Dari kemarin Zaki juga belum mengaktifkan ponselnya," katanya sambil mengasurkan ponsel miliknya kearahku. Aku ragu untuk mengambilnya. "Pakai saja," katanya. Aku mengambilnya dan memposisikan diriku menjadi duduk.

Ponsel ustadz Ramdan sudah berada ditanganku. Aku hanya tinggal menghubungi kontak abi. Tapi , aku tidak memiliki keberanian untuk menghubungi mereka. Aku takut suaraku bergetar dan mereka tahu akan masalah apa yang sudah terjadi kepadaku. Aku juga memikirkan kak Zaki. Aku tidak pandai berbohong. Abi dan ummi pasti tahu kalau aku berbohong dan mau tidak mau menceritakan semua yang terjadi kepadaku.

Meskipun bukan salah kak Zaki. Tetap saja, mereka akan menyalahkan kak Zaki atas kejadian yang menimpaku. Karena kak Zaki sudah diberikan amanat untuk menjaga aku. Walaupun begitu, aku yakin. Kedua orang tuaku pasti bisa memahaminya dan akan tetap menyayangi kak Zaki seperti sebelum-belumnya.

Aku mengembalikan ponsel ustadz Ramdan. "Kenapa?" tanyanya. Keningnya mengerut. Menatapku bingung.

"Saya tidak berani. Saya takut memberitahu mereka," jelasku.

Ustadz Ramdan menarik bangkunya ke samping bangsal kanan dan mendudukinya. "Jika kamu tidak merasa keberatan, kamu boleh memberitahu saya apa yang terjadi kemarin," katanya. Aku ragu untuk menceritakan apa yang terjadi ke ustadz Ramdan. Ke kak Zaki saja aku masih belum sanggup untuk menceritakannya.

"Saya tidak akan memaksa kamu untuk menceritakannya kalau kamu tidak mau bercerita," katanya lagi. Tidak ingin memberikan beban bagiku.

"Awalnya, saya mengira suara berisik itu berasal dari kak Zaki. Saya mengira kak Zaki sudah pulang dan ingin mengerjai saya. Tapi, yang saya lihat bukan kak Zaki melainkan pencuri. Salah satu pencuri berusia tiga puluh tahunan menahan saya dan satunya yang berusia empat puluh tahunan pergi ke kamar atas. Mengambil perhiasan-perhiasan yang disimpan ummi di lemarinya.

"Lalu, pencuri yang berusia tiga puluh tahunan. Mengikat tangan saya dan membawa saya ke sofa. Lalu ...." Aku tidak bisa melanjutkan lagi ceritaku. Aku tidak ingin mengingatnya walaupun akan terus teringat karena sudah terekam dipikiranku. Bayangan kejadian yang kemarin kembali terbayang-bayang. Aku menangis kala mengingatnya.

Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Aku terisak. Ustadz Ramdan terdiam. Dia tidak melakukan apa-apa. Hanya diam sambil mengatakan sesuatu yang bisa menenangkanku. Dia berusaha untuk menenangkanku, tapi aku belum berhenti menangis. Yang aku butuhkan adalah pelukan seorang ibu.

Ustadz Ramdan tidak mungkin memelukku karena bukan mahramnya. Aku tahu itu dan tidak mempermasalahkannya.

"Saya mohon. Tolong jangan menangis. Saya tidak ingin Zaki salah paham. Atau orang-orang di luar salah paham. Saya tidak mau. Tolong, jangan menangis Rahma."

Sebenarnya aku tidak ingin melanjutkan tangisku. Aku ingin menghentikannya. Tapi, setiap kali mendengar kata-kata yang berusaha membuatku tenang, malah membuatku bertambah menangis. Entah mengapa, aku ingin mendengar dan melihat ustadz Ramdan yang mencoba menenangkanku dengan caranya sendiri.

"Rahma. Kalau Zaki tau saya sudah membuat kamu menangis begini. Bisa-bisa Zaki buat saya babak belur. Zaki sangat menyayangi kamu. Dia sungguh kakak yang baik dan penyayang. Kamu beruntung sekali, Rahma." katanya.

Apa yang dikatakan ustadz Ramdan memang benar adanya. Kak Zaki adalah kakak yang sangat baik dan penyayang. Aku beruntung memiliki kakak laki-laki seperti kak Zaki.

Aku mengusap air mataku dengan kasar. Lalu, memberanikan diri menatap ustadz Ramdan. "Keluarga pak ustadz Ramdan juga beruntung punya anak dan saudara kembar yang baik seperti ustadz Ramdan. Pasti, yang jadi istri pak ustadz suatu saat nanti merasa beruntung memiliki suami seperti ustadz Ramdan," kataku.

"Walaupun sikap saya cuek, tampang saya datar, dan sedikit kaku. Apa masih dibilang beruntung memiliki suami seperti saya?"

"Pak ustadz seperti itu karena pak ustadz hanya ingin menjaga sesuatu yang harus di jaga oleh pak utadz. Menjalankan perintah-Nya, menjauhkan larangan-Nya. Saya tau setiap manusia tidak ada yang sempurna dan kadang suka khilaf. Malah sering khilaf. Tapi, bukan berarti manusia tidak berusaha menjalankan perintah-Nya."

Ustadz Ramdan mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Lalu, apa maksud kamu dengan menjaga sesuatu yang harus saya jaga?"

"Menjaga hati untuk seseorang yang pak ustadz cintai. Pak ustadz ingin cinta pak ustadz ke perempuan itu suci dan diridhai oleh Allah. Pak ustadz tidak ingin cinta yang dimiliki pak ustadz ke perempuan itu melebihkan cinta kepada-Nya. Pak ustadz juga ingin cintanya seperti Ali dan Fatimah, bukan begitu?" Aku memaparkannya secara rinci.

Ustadz Ramdan terlihat tertegun mendengar pemaparan yang aku berikan. Dan lagi, dia tersenyum untuk kedua kalinya kepadaku. Biasanya aku melihat senyum ustadz Ramdan hanya ke ustadzah Arum. Tapi, kali ini ustadz Ramdan tersenyum kepadaku. Dan untuk pertama kalinya, kami berbicara panjang lebar. Membahas sesuatu yang sensitif mengenai hati dan cinta.

Bersanding DenganmuWhere stories live. Discover now