7. Ustadzah Arum

431 26 0
                                    

Aku tidak menyangka akan semenyenangkan ini mengajar anak-anak mengaji. Sudah tiga hari lamanya aku mengajar di sebuah TPA yang lokasinya berada tidak jauh dari sekolah. Selesai mengajar anak-anak kecil dibagianku dan memperbolehkan mereka pulang ke rumah masing-masing. Aku pun berpindah ke bagian Yumna yang masih satu tempat denganku hanya saja dipisahkan dengan tirai.

Aku cekikikan melihat Yumna sedikit kerepotan karena anak kecil yang bercanda satu sama lain dengan temannya. Hari ini, aku kebagian mengajar anak kecil yang ikhwan, jadi suasananya tidak sebegitu ricuh seperti Yumna saat ini. Sedangkan Yumna mengajar anak kecil yang akhwatnya.

Yumna menyadari kedatanganku, lalu tersenyum. Aku ikut tersenyum. "Untung kamu sudah kelar lebih dulu. Jadi bisa bantuin aku," kata Yumna. Semenjak mengajar anak-anak, panggilan kami yang dari "lo - gue" pun berubah menjadi "aku - kamu". Katanya Yumna, takut dicontoh oleh anak-anak.

"Sabar, ya?" kataku. Yumna mengangguk.

Aku pun duduk tidak jauh dari Yumna. Lalu aku bertanya pada anak-anak yang sedang bercanda dan mengobrol dengan teman-temannya. Bertanya, apakah mereka sudah membaca Iqra atau belum. Beberapa anak menjawab sudah, beberapa anak mengangkat tangan kanannya sambil menjawab belum. Aku tersenyum. Kemudian aku memanggil satu nama anak, bergantian.

Selesai mengajar, aku melihat ustadz Ramdan menghampiri seorang perempuan mengenakan hijab syar'i berwarna hijau tosca. Aku yang berniat menghampiri ustadz Ramdan untuk melapor, kalau sudah selesai dan anak-anak sudah pulang, pun mengurungkan niatku itu. Yumna menepuk pundak ku dan ikut berdiri di samping kiriku.

"Perempuan itu, cantik. Kira-kira siapanya ustadz Ramdan, ya?" ucap Yumna. "Mereka terlihat sangat dekat."

Radit datang dan berdiri di samping kananku. "Perempuan itu teman sekaligus tetangganya ustadz Ramdan," ucap Radit memberitahu. Aku dan Yumna mengangguk.

Aku melihat ustadz Ramdan dan perempuan itu berjalan menghampiri kami. "Sudah selesai?" tanyanya.

"Sudah, ustadz." Radit yang menjawab. Aku dan Yumna memberikan jawaban dengan menganggukkan kepala.

"Oh iya, perkenalkan, ini namanya Arum. Kalian bisa memanggilnya ustadzah Arum, bu Arum, ka Arum, atau yang lainnya juga bisa." jelas ustadz Ramdan. Perempuan yang bernama Arum itu tersenyum. Senyumnya sangat manis sekali, dan benar kata Yumna, cantik, bahkan sangat cantik. Tiba-tiba aku merasa tidak percaya diri.

"Assalamu'alaikum. Senang bisa mengenal kalian." kata ustadzah Arum. Iya, aku memanggilnya dengan sebutan ustadzah. "Radit, apa kabar? Sudah lama tidak bertemu dan kamu sudah besar, ya?" ucapnya.

Melihat keramahan ustadzah Arum, membuat aku menundukkan kepala. Betapa irinya aku melihat ustadzah Arum. Sudah cantik, tampak pintar dengan ilmu agamanya, shalihah, memiliki senyum yang indah, baik, dan ... Sangat berbeda dari diriku.

"Ada apa, Ma?" Yumna bertanya dengan berbisik. Aku menggeleng.

"Fariz, terima kasih sudah membantuku mengajar di TPA hari ini. Kalian juga, terima kasih, ya?" ucap ustadzah Arum.

"Sama-sama, bu Arum." ucap Yumna.

Fariz? Batinku bertanya-tanya mengenai ustadzah Arum memanggil ustadz Ramdan dengan nama Fariz.

***

Aku mengambil minum dan membawanya ke ruang tamu. Ustadz Ramdan masih belum datang ke rumah. Malam ini, jadwal ustadz Ramdan mengajar ngaji di rumahku. Sudah satu bulan ustadz Ramdan menjadi guru ngajiku, dan Yumna masih belum aku beritahu mengenai hal ini.

Baru saja aku mau meminum airku. Suara ketukan pintu dan diikuti dengan pemberian salam, terdengar. Aku segera pergi membukakan pintu sambil membawa gelas yang masih ada airnya.

Aku menjawab salam sembari membukakan pintu. Aku membuka pintu lebar-lebar, setelah itu aku minggir sedikit dari hadapannya supaya ustadz Ramdan bisa masuk ke dalam.

"Boleh saya menumpang untuk wudhu?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Tentu saja," kataku. Karena ustadz Ramdan sudah tahu di mana letak kamar mandinya. Aku pun tidak perlu mengantar ataupun memberi unjuk. Tidak lama kemudian, kak Zaki menghampiriku yang masih berdiri di dekat pintu.

"Tutup pintunya," kata kak Zaki. Aku pun menutup pintunya lagi.

"Kak, aku ke dapur dulu. Mau membuatkan minum untuk pak Ramdan. Kak Zaki mau juga?"

"Enggak usah. Gue mau keluar dulu sebentar. Mau beli nasi goreng. Ummi belum sempat masak sebelum pergi."

"Terus, pak Ramdan sama aku, gimana? Masa cuma berduaan di rumah?"

"Ya udah, pintunya di buka aja pas gue lagi pergi keluar. Nggak lama, kok." Baru saja melangkahkan kakinya keluar, kak Zaki berbalik melihatku. "Rahma, lebih baik di minum dulu airnya." Setelah itu, kak Zaki pergi.

"Oh, iya." Aku langsung pergi ke bangku, duduk dan meminum airku yang sejak dari tadi kubawa sambil memerhatikan punggung kak Zaki yang sudah tidak terlihat lagi.

"Lihat apa?" kata ustadz Ramdan yang ternyata sudah selesai mengambil wudhu. Aku terkejut, padahal aku sedang tidak melamun.

"Astaghfirullah," gumamku. "Saya sedang melihat kak Zaki pergi keluar."

"Oh, iya. Orang tua kamu ke mana?"

"Lagi pergi," jawabku. "Kalau gitu, saya buatkan minum dulu, ya?"

"Kamu sudah ambil wudhu, belum? Kalau belum, ambil wudhu dulu. Minum bisa nanti setelah ngaji," jelasnya. Aku menggangguk menurut.

Tidak butuh waktu lama untuk mengambil wudhu. Aku kembali ke ruang tamu. Kak Zaki belum pulang, yang berarti pesanan kak Zaki belum dibuat karena banyak pelanggan yang beli. Aku tahu dari mana, karena tempat nasi goreng yang biasa mangkal tidak jauh dari rumahku sering ramai, banyak yang beli. Mau tidak mau, kak Zaki atau siapapun yang membeli, harus mengantre dulu.

"Oh iya, pak. Ustadzah Arum, usia berapa?" tanyaku sekedar basa-basi agar tidak begitu canggung.

Ustadz Ramdan melihatku dengan tatapan bingung. "Ada apa?" Aku menggeleng. "Yang pasti usianya lebih muda dari saya dan lebih tua usianya dari kamu," jawab ustadz Ramdan.

"Oh iya, pak. Kenapa ustadzah Arum manggil pak ustadz Ramdan dengan nama Fariz?" Mungkin ini terlalu pribadi, tapi karena rasa penasaranku terlalu tinggi. Aku pun menjadi melontarkan pertanyaan seperti itu.

"Jika saya ceritakan. Kamu tidak akan mengaji hari ini. Karena akan sangat panjang," katanya.

"Kalau begitu. Kasih jawaban yang singkat saja, pak."

"Nanti, jika sudah waktunya. Kamu akan mengetahuinya," kata ustadz Ramdan. Aku mengernyit. "Kita mulai saja mengajinya?" ujar ustadz Ramdan. Aku pun mengangguk dan pergi ke kamar untuk mengambil Al-Qur'an milikku, setelah itu kembali ke ruang tamu. Kami memulai mengajinya tanpa kak Zaki.

***

Selesai di revisi.

Bersanding DenganmuWhere stories live. Discover now