34. Kesedihan yang Mendalam

426 23 0
                                    

Author pov.

Sembari menulis di atas kertas selembar. Fariz terus meneteskan air matanya. Bukan hanya Rahma yang merasakan sakit yang amat dalam, tetapi Fariz juga. Bahkan dia lebih merasakan sakit. Sakit, tapi tak berdarah.

Walaupun kondisinya sedang lemah. Fariz memaksakan dirinya untuk duduk, dibantu sekaligus ditemani seorang suster. Masker oksigen yang tadi pagi dia gunakan pun sudah diganti menjadi selang oksigen.

Bibirnya yang pucat pasi pun tak henti-hentinya bergetar karena menahan tangisnya agar tidak pecah. Tidak mungkin dia menangis meraung-raung dirumah sakit dengan kondisinya yang seperti orang sekarat. Terlebih lagi ada suster di dalam ruangannya. Fariz sengaja menyuruh suster untuk menemaninya.

Fariz sudah selesai menulis. Dia melipat kertas tersebut dan menyerahkannya ke suster. "Saya titip surat ini untuk seorang wanita muda bernama Rahma. Jika dia datang ke sini, tolong kasih surat itu ya, sus?"

"Kenapa tidak langsung diberikan ke orangnya, pak?" tanya susternya heran. Fariz hanya tersenyum.

Pintu ruang rawat inap Fariz terbuka. Ramdan muncul dari luar ruangan dan masuk ke dalam. Suster langsung pamit untuk melanjutkan tugasnya merawat pasien lain diruangan selanjutnya. Ramdan tidak masuk sendiri, melainkan bersama Arum. Wanita yang dicintai Fariz, tapi kini sudah menikah dengan saudara kembarnya.

Arum menangis ketika melihat kondisi Fariz, lelaki yang seharusnya menikahinya. Fariz tersenyum melihat Ramdan dan Arum masih menggunakan gaun pernikahan. Keduanya sudah selesai melangsungkan pernikahan. Fariz senang melihatnya karena permintaan terakhirnya terwujud. Tetapi, Fariz juga sedih melihatnya. Seharusnya dia yang memakai setelan pernikahan yang sekarang dipakai oleh Ramdan.

"Kenapa kecelakaan itu harus terjadi sebelum pernikahan kita, Riz? Kenapa kamu meminta permintaan terakhir? Bukankah kita bisa menikah setelah kamu sembuh? Kenapa harus meminta Ramdan menggantikan kamu? Apa kamu tidak peduli dengan perasaan Rahma? Kamu tidak peduli dengan perasaan aku dan orang-orang disekitar kamu?" Arum memberikan pertanyaan beruntun yang merupakan rasa protes juga kecewa terhadap Fariz yang memutuskan semuanya sendiri. "Seharusnya kamu mendiskusikannya dengan ayah, ibu, aku, dan keluarga aku dulu, Fariz." lanjutnya.

"Bisakah kamu memeluk aku dulu? Aku mohon, peluk aku. Untuk terakhir kalinya." kata Fariz sambil merentangkan kedua tangannya.

Arum melangkahkan kakinya menghampiri Fariz. Dia memukul dada bidang Fariz tanpa memedulikan kondisi lelaki itu saat ini. Fariz langsung mengeluh kesakitan. Fariz hanya berpura-pura dan Arum langsung merasa khawatir.

"Kamu baik-baik saja? Maafin aku, Fariz. Sakit, ya?" kata Arum penuh perhatian. Fariz langsung tertawa. Arum memanyunkan bibirnya. "Tidak lucu, Fariz." katanya merajuk.

"Tolong peluk aku ya, Rum? Aku mohon! Untuk terkahir kalinya," kata Fariz lagi.

"Kenapa kamu selalu bicara untuk terkahir kalinya melulu, sih? Memangnya kamu mau ke mana? Jangan buat kami semua takut dan khawatir," protes Arum. Fariz tidak memedulikan protesnya Arum. Tanpa memedulikan keberadaan Ramdan yang kini sudah menjadi suami sahnya Arum, Fariz memeluk Arum. Fariz memeluk Arum begitu erat. Seakan-akan Fariz tidak ingin melepaskan Arum. Lama-kelamaan Arum membalas pelukan Fariz dan mengusap-usap punggung lelaki itu.

"Terimakasih sudah mengabulkan permintaan gue," kata Fariz saat memeluk Arum dan perkataannya masih bisa di dengar oleh Ramdan. Fariz sengaja karena dia sekaligus berterimakasih dengan suadara kembarnya.

Masih memeluk Arum, Fariz memejamkan kedua matanya. Lima menit telah berlalu. Kedua mata Fariz masih terpejam. Pelukan Fariz sudah tidak seerat tadi. Pelukannya mengendur. Sepuluh menit berlalu. Posisi Fariz masih sama seperti sebelumnya, masih memeluk Arum, tapi pelukannya mengendur dan matanya masih terpejam.

"Fariz?" Arum menguraikan pelukannya dan Fariz terjatuh di pangkuannya begitu saja seperti tanpa nyawa. Arum mengira Fariz tertidur, tapi tidak bagi Ramdan. Lelaki itu melangkahkan kakinya dengan cepat menghampiri Fariz. Perasaannya merasa tidak enak. Dia merasakan sesuatu yang aneh terjadi pada Fariz, sama seperti pada malam Fariz mengalami kecelakaan. Itulah yang dirasakan Ramdan.

Ramdan memeriksa nafas Fariz. Tidak ada hembusan nafas. Dia pun memeriksa denyut nadi dileher Fariz untuk meyakinkan dirinya bahwa Fariz sudah tiada di dunia.

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un," gumam Ramdan. "Fariz sudah meninggalkan kita semua di dunia ini, Arum. Kita harus mengikhlaskannya," katanya pada Arum.

"Inna lillahi wa inna ilahi raji'un," kata Arum. "Fariz, Fariz." Arum menangis tersedu-sedu. Ramdan mengusap-usap punggung Arum. Kemudian dia memanggil dokter.

Keluarga yang menunggu di luar langsung masuk ke dalam ketika mendengar suara tangis Arum dan melihat Ramdan keluar dari dalam dengan mata yang berkaca-kaca.

"Ada apa Arum?" tanya Ibunya Fariz.

"Fariz ... Fariz sudah meninggalkan kita semua, bu." kata Arum masih menangis. Ibu pun langsung menangis sambil memanggil-manggil nama anaknya dan langsung memeluk sang anak. Begitupula dengan ayahnya.

***

Rahma dan keluarganya belum mengetahui tentang kabar Fariz yang meninggal dunia. Ramdan sudah berkali-kali menghubungi sang istri dan keluarganya, tapi satupun tidak ada yang menjawab. Mulai dari Fariz dimandikan, dikanfankan, hingga dishalatkan. Keluarga Rahma masih belum bisa dihubungi. Ramdan memakluminya, tapi Ramdan tidak tahu apakah keluarganya akan memakluminya atau tidak kalau keluarga Rahma tidak bisa dihubungi hingga pemakaman selesai.

"Bagaimana dengan Rahma? Apa masih tidak bisa dihubungi?" tanya ayahnya. Ramdan menggeleng lemas. Dia tidak tahu harus berkata apa, begitu juga dengan ayahnya. "Tidak apa. Ayo kita bersiap-siap mengantar Fariz sampai ke tempat peristirahatan terakhirnya." lanjut ayahnya. Ramdan menghela nafas panjang. Setidaknya, dia sudah mengirim pesan untuk Rahma.

Saat itu juga, kedua orang tuanya Rahma sampai dirumah Ramdan. Mereka terlambat datang dikarenakan jalanan yang macet. Ramdan hanya melihat kedua orang tua Rahma saja yang datang, dia tidak melihat kehadiran Rahma. Padahal, di saat-saat seperti ini, yang dibutuhkan oleh Ramdan adalah kehadiran Rahma. Ramdan sangat membutuhkan Rahma di sampingnya.

"Biarkan Rahma tenang dulu ya, nak Ramdan? Dia pasti akan datang," kata abinya Rahma. Abinya Rahma ikut membantu membawa keranda Fariz hingga ke tempat peristirahatan terakhirnya.

***

Rahma masih berada dirumah orang tuanya, tepatnya di dalam kamarnya. Sejak tadi pagi hingga menjelang sore, dia masih mengurungkan dirinya di dalam kamarnya. Air matanya masih tak henti-hentinya mengalir membasahi pipinya. Makanannya disentuh sedikitpun, tidak sama sekali. Rahma sama sekali tidak berselera untuk makan meskipun orang tuanya dan Zaki sudah membujuknya.

"Aku minta maaf, pak Ramdan. Maaf belum bisa menjadi istri yang shaleh dan baik bagi pak Ramdan," kata Rahma pelan.

Sebenarnya Rahma sudah tidak sedih lagi mengenai suaminya yang menikahi wanita lain. Yang membuatnya sesedih ini adalah ketika mendapatkan kabar mengenai Fariz yang telah meninggal dunia.

Saat mengetahui Fariz meninggal dunia, Rahma langsung menangis lagi. Dia merasa bersalah terhadap Fariz. Yang membuat Rahma merasa bersalah ialah ketika dirinya tidak bisa berada di sisi Fariz. Tidak bisa menemani Fariz di detik-detik terakhirnya. Tetapi, Rahma juga merasa senang karena telah mewujudkan permintaan terakhir dari Fariz.

Rahma berdiri dari duduknya. Dia pun bersiap-siap untuk pergi ke tempat pemakaman Fariz bersama Zaki.

Bersanding DenganmuWhere stories live. Discover now