10. Mengenal Keluarga Ustadz Ramdan [2]

370 21 0
                                    

Suara ketukan pintu dikamarku membuat aku melenguh sambil menggeliat di dalam selimut. Awalnya, kupikir ketukan pintu tersebut sudah berakhir. Tapi, ternyata masih berlanjut sambil memanggil namaku. Perlahan aku membuka mata dan menyingkap selimut yang kupakai. Aku melihat sekeliling kamar yang ku tempati. Ini bukan kamar milikku. Aku baru teringat kalau semalam aku kerumah ustadz Ramdan dan menginap dirumahnya.

Suara ketukan masih terdengar. Suara ustadz Ramdan yang memanggilku untuk membangunkan aku shalat subuh kini terdengar jelas. Biasanya, kalau di rumah, ummi lah yang selalu membangunkan aku untuk shalat subuh. Aku segera beranjak dari tempat tidur menuju pintu.

"Iya, pak ustadz. Rahma sudah bangun, kok." kataku sambil membuka kunci, lalu membuka setengah pintunya.

Semalam aku belum sempat bertemu dengan saudara kembarnya ustadz Ramdan. Aku juga belum sempat bertemu dengan ayahnya ustadz Ramdan yang merupakan sahabat dari abi. Karena semalam saudara kembarnya ustadz Ramdan dan ayahnya kerja lembur di kantor. Jadi, pulangnya larut malam. Ibu pun menyuruhku untuk tidur duluan karena ke esokan harinya aku sekolah, takut aku kesiangan.

"Syukurlah kamu sudah bangun. Kamu ternyata kebo juga, ya Rahma? Susah sekali dibangunin. Butuh sepuluh menit bangunin kamu," kata ustadz Ramdan. "Oh iya, saya baru sadar. Mana kerudung kamu?"

Aku terkejut mendengar pertanyaan ustadz Ramdan mengenai kerudunganku. Semalam, ketika mau tidur, aku melepasnya karena di rumah aku sudah terbiasa tidur tanpa menggunakan jilbab.

Dengan cepat, mugkin tanpa sopan santun, aku langsung menutup pintu kamar lagi untuk mengambil kerudungku dan memakainya. Untung saja baju tidurku berlengan panjang, begitu juga dengan celana yang kupakai juga panjang.

"Adzan subuh sebentar lagi dikumandangkan dan kita harus segera ke masjid. Saya kasih waktu lima menit untuk kamu cuci muka dan ambil wudhu." katanya dari luar kamar.

"Saya bisa bareng sama ibu pergi ke masjid," jawabku yang sudah membuka pintu kamar lagi dan berdiri dihadapannya.

"Ibu dan semua orang yang ada di rumah ini sudah berangkat ke masjid lima menit yang lalu. Tinggal kamu dan saya saja di rumah. Cepat, saya tunggu di luar," katanya. Ustadz Ramdan pun berlalu pergi menuju pintu depan.

Aku menyusul ustadz Ramdan yang berada di depan rumah setelah mengenakan mukena sambil membawa sajadahku, dan tentu saja aku sudah mencuci muka juga mengambil wudhu. Ustadz Ramdan menutup pintunya dan menguncinya. Ustadz Ramdan berjalan lebih dulu, dan aku mengikutinya dari belakang.

"Jangan berjalan di belakang saya. Berjalanlah di samping saya," ucapnya. Tanpa mengatakan apa-apa, aku langsung menyamakan langkah kakiku di samping ustadz Ramdan, dengan jarak satu meter darinya.

***

Aku baru bertemu dengan saudara kembar ustadz Ramdan saat sedang berkumpul di meja makan untuk sarapan. Pagi ini aku sarapan bersama keluarga ustadz Ramdan. Aku memakan sarapanku dalam diam. Di meja makan juga ada ayahnya ustadz Ramdan.

"Bagaimana kabar abi kamu, Rahma?" Ayah ustadz Ramdan bertanya setelah selesai sarapan.

"Alhamdulillah, sehat, em ...." Aku bingung harus memanggil apa. Lidahku kelu. Aku takut salah jika memanggil ayah ustadz Ramdan dengan panggilan 'Om'.

"Panggil saja saya ayah. Abi kamu semalam sudah memberitahu ayah tentang kamu yang akan menginap di sini. Ibu juga sudah bilang," jelasnya. Aku mengangguk.

"Nah, nak Rahma. Ini, saudara kembarnya Ramdan, Fariz. Semalam kamu belum sempat bertemu dengannya, kan?" Ibu mengenalkan anak laki-lakinya yang mirip ustadz Ramdan.

Bersanding DenganmuWhere stories live. Discover now