21. Buku Tahunan Sekolah

313 19 0
                                    

Aku tidak menyangka Bara akan membawa buku tahunan sekolah ke kampus. Dia menunjukkan buku tahunan sekolahnya. SMA Cendekia. Di mana SMA tersebut adalah tempatku menuntut ilmu dulu, sebelum lulus. Kulihat dibukunya dia angkatan tahun 2015, yang berarti saat itu aku masih anak baru. Masih mengenakan seragam putih biru dan mengikuti MOS.

"Ini, aku enggak apa-apa lihat buku tahunan sekolahmu, Bara?" tanyaku yang sudah terlanjur membuka halaman perhalaman.

"Tidak apa-apa," jawabnya.

Aku kembali melihat-lihat foto yang ada dibuku tahunan sekolah tersebut. Foto-foto tersebut memiliki temanya masing-masing. Untuk kelas dua belas IPA, bertema klasik. Sedangkan kelas dua belas IPS bertema denim. Sama seperti aku waktu itu. Sebelum aku lulus, satu kelasku berfoto disebuah taman dengan bertemakan full color.

"Ini kamu, Bara?" tanyaku lagi sambil menunjuk foto yang ada Baranya. Dia mengangguk sambil menyengir, "Iya" katanya.

"Gantengnya masih sama kan, yang sekarang sama dua tahun yang lalu?" kata Bara, dia terkekeh.

"Iya. Tapi, ada bedanya," kataku.

"Apa?"

"Dulu kamu gantengnya pas masih muda. Saat masih usia delapan belas tahun. Kalau sekarang, gantengnya sudah tua."

"Lho, meski usiaku sudah dua puluh tahun. Tapi, aku masih terlihat muda," katanya tidak ingin dibilang tua.

Aku mengalah dengan mengiyakannya. Aku pun kembali melihat-lihat foto teman-teman seangkatannya. Sifa baru saja datang. Dia duduk dibangku yang masih kosonh yang ada di sampingku.

Sifa menarik bangkunya lebih dekat dengan bangkuku. Sehingga tidak ada jarak lagi antara bangkunya dengan bangkuku. "Lagi lihat apaan, tuh?" Sifa merebut buku tahunan sekolah milik Bara begitu saja. Memindahkannya dari mejaku ke mejanya.

"Ini punya lo, Bar?" tanya Sifa pada Bara.

"Bar, Bar. Emangnya gue apaan, bar bar." sinis Bara. Sifa hanya tertawa.

"Yeu ... sensitif amat sih, bang. Lagi dapet, lo?" ejek Sifa. "Btw, ada fotonya Rafa, nggak?" tanya Sifa sambil membalikkan halaman buku tahunan sekolah milik Bara.

O iya, Bara duduk dibangku yang ada di depanku. Bangkunya dia putar sehingga menghadap kearahku dan Sifa.

"Si Rafa ada di bagian kelas dua belas IPS. Cari aja sendiri," jawab Bara.

Oh iya, semenjak Bara memberiku surat perkenalan diri kepadaku kemarin. Hari ini, laki-laki itu bersikap biasa-biasa saja. Tidak membahasnya sama sekali perihal surat yang dia berikan. Malah, Bara bersikap seperti tidak pernah memberikan apapun ke aku. Kukira dia akan membahasnya atau menjelaskannya ke aku. Padahal sedari tadi aku sudah menunggu dia akan membahas suratnya yang kemarin.

Aku ingin bertanya. Tapi, aku tidak berani. Selain itu, aku malu untuk bertanya. Aku takut Bara menganggap surat itu sebagai salah satu upayanya sebagai perkenalan diri dengan cara yang berbeda saja supaya lebih dekat denganku atau teman perempuan lainnya. Anggap saja aku gengsi untuk bertanya, meminta penjelasan dari Bara.

"Rahma," panggil Bara.

"Iya?"

"Mengenai surat kemarin. Aku serius ingin mengenal kamu lebih dari yang lain," katanya. Aku tertegun. Kupikir Bara benar-benar tidak akan membahasnya dan menganggapnya sebagai angin berlalu, meskipun melalui surat.

"Sebenarnya, aku ingin menanyakan hal ini sama kamu. Maksud dari mengenal aku lebih dalam dari siapapun, apa artinya?" tanyaku memberanikan diri.

"Aku berniat ingin melamarmu, Rahma. Tapi, kalau aku datang kerumahmu sekarang, rasanya terlalu cepat." jawabnya begitu terang-terangan. Aku terkejut mendengar jawaban dari Bara.

"Lalu, kapan kita pernah bertemu? Dan di mana? Katamu, kita pernah bertemu?"

"Tentu saja disekolah, Rahma. Di perpustakaan. Saat itu kamu masih jadi anak baru," jawabnya sambil tersenyum. "Bagaimana jika sebulan lagi, aku datang melamarmu?" ujarnya. Aku dibuat terkejut untuk kedua kalinya. Aku melihat dan merasakan ketulusan dan kejujuran dari Bara yang berniat melamarku.

"Gila, si Rafa. Dari dulu tuh muka, kaku banget. Buat senyum doang kayaknya susah banget." Di saat aku dan Bara sedang membicarakan hal serius, tiba-tiba Sifa berkomentar tentang Rafa. Aku dan Bara langsung sama-sama melihat kearahnya.

"Nih, lihat deh," kata Sifa sambil menunjukkan foto Rafa. "Astaga, nggak nyangka gue si muka kaku," katanya lagi sambil berdecak heran. Orang yang sedang dibicarakannya pun datang. Dia duduk dibangku sebelah Bara.

"Lagi ngomongin gue, ya?" tanyanya.

"Tuh, si Sifa. Gue mah sama Rahma enggak. Kata Sifa, muka lo kaku udah kayak kanebo kering. Ha ha ...." Bara tertawa mengejek Rafa.

Rafa menatap datar Bara. Lalu, dia menatap kearah Sifa. "Walaupun kaku, tapi gantengkan." katanya penuh percaya diri, tanpa ekspresi sedikitpun. Datar sekali.

"Krik ... krik ... krik ...." Bara meniru suara jangkrik. Karena suasana tiba-tiba menjadi hening dan garing. Sifa tiba-tiba tertawa. Tawa tidak niat.

"Ha-ha, pede banget lo," kata Sifa. Aku mengulum senyum melihat ketiganya saling meledek satu sama lain. Beruntungnya aku mendapatkan teman-teman yang baik dan asik. Seperti Yumna, Bara, Sifa, dan Rafa.

Bersanding DenganmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang