3. Kajian Pertama Bersama Yumna

578 29 0
                                    

Sekarang aku berada di ruang meja makan, duduk di bangku dengan wajah tertunduk. Ummi berada di bangku yang berseberangan denganku. Wajah ummi tidak menggambarkan kesan galak, tetapi entah mengapa aku takut. Tatapan ummi penuh selidik, aku seperti sedang berada di ruang interogasi.

Aku melirik jam di dinding. Sudah pukul 15.15 WIB dan sebentar lagi akan adzan ashar. Sebelumnya, aku tidak pernah pulang sekolah terlambat. Jika waktunya sudah pulang sekolah, ya, aku langsung pulang. Jika ingin pergi ke mana-mana, harus pulang dulu untuk sekedar izin atau jika tidak sempat pulang maka harus menghubungi orang rumah terlebih dulu.

Sebenarnya ini salah Yumna. Katanya, dia ingin memberitahu ummi terlebih dulu. Kupikir dia sudah menghubungi ummi, ternyata belum. Jadilah aku di sini bersama dengan tatapan ummi yang penuh selidik dan aku tidak suka karena aku menjadi terintimidasi. Selain itu, ummi sama sekali belum angkat bicara sedari lima belas menit yang lalu.

"Ummi," panggilku. Ummi hanya bergumam menunggu kata-kataku selanjutnya. "Rahma minta maaf karena Rahma enggak kasih kabar ke ummi kalau akan pulang telat."

"Sudah salat dzuhur?" Pertanyaan ummi membuatku bingung, namun setelahnya aku mengangguk. "Sudah," jawabku. Ummi mengangguk. Setelah itu diam lagi.

"Jadi, ummi. Tadi Yumna mengajak aku belajar mengaji di sekolah. Kegiatan belajar mengajinya seminggu dua kali setiap sepulang sekolah. Dan tadi aku ikut Yumna belajar. Dan katanya, dia ingin memberitahu ummi, ternyata tidak. Aku nggak tau kalau dia belum memberitahu ummi," jelasku panjang lebar. Aku memberanikan diri untuk menatap wajah ummi. Wajahnya yang semula datar kini tersenyum dan aura dingin itu hilang menjadi aura kehangatan seorang ibu.

"Kalau itu yang terjadi, ummi enggak marah. Ummi malah senang. Tapi, ummi jadi khawatir karena nggak biasanya kamu pulang terlambat seperti sekarang," kata ummi dan aku mengangguk.

Benar bukan, kataku? Orang tuaku setuju-setuju saja dan tidak mempermasalahkannya. Selama itu bersifat positif, orang tuaku pasti akan mendukungnya. Tetapi, tetap saja aku merasa bersalah. Karena aku lupa memberi kabar pada ummi. Kupikir Yumna sudah memberi kabar. Ternyata, saat kutanya, jawabannya belum. Meskipun ini salah Yumna, namun aku tidak bisa menyalahkan Yumna sepenuhnya, seharusnya akulah yang harus memberi kabar. Toh, aku anaknya, jadi aku yang harus memberitahu orang tuaku agar mereka tidak khawatir seperti ini.

"Ya, sudah. Kalau gitu, kamu ganti baju. Sehabis itu mandi. Jangan lupa untuk salat ashar." kata ummi. "Oh iya, lain kali jangan lupa kasih kabar ke ummi kalau kamu ada kegiatan di sekolah." pesan ummi. Aku mengangguk dan ummi berlalu pergi ke kamar. Barulah aku bisa menghela napas panjang.

***

"Rahma." Suara ummi memanggilku dari lantai bawah. Aku segera keluar dari dalam kamarku dan menuruni anak tangga, menghampiri ummi yang sedang berada di ruang tengah.

"Ya?" Aku bertanya setelah berada didekat ummi. "Ada apa, mi?"

Kulihat ummi sedang menghitung hasil penjualan katering yang diperoleh selama sebulan. Alhamdulillah, pesanan katering dalam sebulan, ummi bisa mendapatkan tiga ratus kotak nasi dari empat pelanggan.

Aku duduk di sofa yang dua dudukan. Duduk di sebelah ummi yang sedang sibuk menghitung dan mencatat. Meskipun gaji ayah cukup untuk memenuhi kebutuhan, tetap saja ummi ingin membantu keuangan dengan cara menerima pesanan katering dari para tetangga. Masakan ummi rasanya sangat lezat sekali, jadi aku jamin tidak akan mengecewakan.

Aku juga memiliki seorang adik perempuan. Adikku masih balita. Usianya baru dua tahun. Namanya, Hafizah. Oh iya, aku baru ingat, kita belum kenalan, bukan? Perkenalkan, nama lengkapku adalah Rahmadanti Nur Widjaya. Aku biasa dipanggil dengan nama Rahma. Aku hanya gadis biasa. Sebelumnya, aku sudah sedikit bercerita tentang diriku. Jika bercerita tentang keluargaku, tidak ada yang istimewa, kehidupan di keluargaku sama seperti keluarga biasa lainnya. Oh iya, aku juga memiliki seorang kakak laki-laki yang bernama Zaki.

"Ba'da isya, kamu ikut pengajian remaja, ya? Itu, lho, yang biasa di adakan di masjid. Biar kamu aktif berorganisasi. Jangan diam saja di rumah. Bukan di masjid dekat rumah saja, sih. Di masjid mana saja kamu harus ikut kalau ada pengajian," kata ummi.

Pengajian remaja yang di adakan di masjid yang berada tak jauh dari rumahku, sudah ada sejak tujuh tahun yang lalu. Aku juga sama sekali tidak berniat mengikuti pengajian. Lebih tepatnya, sih, aku malas karena tidak ada teman yang dekat, yang bisa aku ajak pergi ke pengajian. Mungkin, jika aku sedikit bergaul, aku akan memiliki teman rumah. Karena aku anak rumahan.

Aku jarang sekali keluar rumah untuk main. Aku keseringan berada di rumah dan aku tidak diizinkan untuk main malam oleh kedua orang tuaku. Maka dari itu, tidak ada yang aku kenal, begitu juga mereka tidak kenal denganku. Lalu, aku juga orangnya tidak mudah untuk langsung bergaul, butuh waktu untuk beradaptasi dengan orang baru dikenal. Aku tipe orang yang harus diajak ngobrol terlebih dulu baru aku bisa akrab.

"Boleh nggak, Rahma tolak?" Aku balik bertanya. Ummi menghentikan kegiatannya dan menatapku.

Ummi menggeleng. "Enggak. Kamu harus ikut. Ini juga abi yang meminta dan ummi hanya menyampaikan sekaligus mendukung keinginan abi kamu itu," kata ummi.

Jika nanti aku datang. Maka, itu akan menjadi pengkajian pertamaku diusia tujuh belas tahun.

"Boleh aku ajak Yumna?" Aku bertanya lagi. Rumah Yumna pun tidak jauh dari rumahku. Hanya berbeda RT saja, tapi masih satu RW. Ummi mengangguk.

Aku pun segera mengirim pesan untuk Yumna.

Rahma: gw tunggu dimasjid Al-Malik. Gk pake alasan. Pake baju gamis, ya? Hehe ...

Tidak butuh waktu lama. Yumna membalas pesan WhatsApp dariku.

Yumna: lo ngajakin gw ke pengajian nih, ceritanya? Wkwk
Sejak kapan lo mau ikut?
Tapi, klo mau hijrah, ayo bareng2

Rahma: gk usah ngeledek.
Sejak hari ini.
Ayo aja. Stay istiqomah, sayangkuhh 😙😅

Yumna: pen muntah gw .. wkwk

***

Aku sudah duduk bersila dengan antengnya di dekat jendela. Di sampingku sudah ada Yumna. Dia juga anteng, karena sedang memainkan handphone-nya. Aku menatap ke sekelilingku. Yang datang cukup banyak. Bukan hanya akhwat saja yang datang, tapi ada ikhwannya juga banyak. Dari semua yang kulihat, hanya Yumna yang kukenal.

"Na, jangan kacangin gue. Gue gabut nih, jadinya." bisikku pada Yumna.

Karena aku tidak kenal dengan orang-orang yang ada di dalam masjid. Jadi, aku merasa tatapan mereka itu seperti tatapan tidak ramah. Sinis. Aku pun tiba-tiba merasa haus. Tenggorokan yang semula basah, jadi terasa kering.

Usia mereka tidak begitu jauh dengan usiaku. Paling dewasa, kemungkinan 25 tahun. Aku memperkirakan mereka yang lebih tua dari aku adalah ketua, dan pengurus pengajian remaja.

"Na," panggilku lagi sambil menggoyangkan lengannya yang aku kalungkan pada tanganku. Aku sengaja mengalungkan tanganku pada Yumna karena aku merasa takut dan bingung.

"Kenapa sih, Ma?" Yumna sedikit geram denganku. "Santai aja, sih. Lagian juga mereka nggak gigit. Jadi nggak usah takut gitu," katanya lagi. Aku memanyunkan bibirku. Pengajian pun dimulai dan dibuka dengan ta'audz dan basmalah.

Bersanding DenganmuWhere stories live. Discover now