14. Hal Yang Di Sesali [2]

367 27 1
                                    

Note: di chapter ini aku masih menggunakan author improv, ya semua ...

BAGIAN EMPAT BELAS

Zaki duduk diruang tunggu bersama Rahma. Zaki merangkul adiknya yang terlihat masih syok. Sedangkan Ramdan pergi mendaftar sebelum Rahma diperiksa oleh dokter. Sambil menunggu, Zaki menepuk-nepuk pelan bahu adiknya sambil memerhatikan wajah adiknya. Adiknya itu masih terdiam. Rahma belum berniat untuk angkat bicara.

Tidak lama kemudian, Ramdan datang menghampiri keduanya. Dia duduk di sebelah Zaki. Saat Ramdan datang, Rahma menundukkan wajahnya. Entah mengapa dia merasa malu jika berhadapan langsung dengan laki-laki yang duduk di dekat kakaknya--yang merupakan guru ngajinya.

Lama menunggu. Akhirnya nama Rahma dipanggil dan disuruh masuk ke dalam ruangan dokter untuk diperiksa terlebih dulu kondisinya. Zaki memberitahu, tapi adiknya malah mencengkeram baju Zaki dengan erat. Dia takut jika masuk ke ruang dokter sendirian. Bayang-bayang kejadian tadi sore terlintas dipikirannya.

"Rahma nggak mau sendirian," Rahma memeluk kakaknya. Zaki dapat merasakan ketakutan yang sedang dialami adiknya saat ini. Ramdan menatap kasihan Rahma dan dia ikut bersedih atas kejadian yang dialami oleh Rahma.

"Kamu enggak sendirian. Ada kakak, ada ustadz Ramdan," Zaki menenangkan Rahma. Dia menguraikan pelukan adiknya dan menatapnya. "Yuk, kakak temani." Zaki membantu adiknya untuk berdiri. Sudah dua kali perawat memanggil nama Rahma.

"Saya tinggal dulu ya, ustadz," kata Zaki. Ramdan mengangguk.

***

Rahma sudah berada diruang inap. Di telapak tangan kiri bagian atasnya sudah terpasang jarum infus. Gadis remaja itu sedang tertidur. Kondisi gadis itu saat ini benar-benar tidak baik. Sangat down. Maka dari itu, dokter menyarankan Rahma untuk dirawat inap selama tiga hari.

Zaki menggenggam telapak tangan kanan adiknya. Sangat erat. Dia sangat menyesali kejadian yang terjadi pada adiknya. Ramdan masih dirumah sakit. Lebih tepatnya diruang rawat inap Rahma. Ramdan berdiri di belakang bangku yang sedang di duduki Zaki.

"Kenapa semua ini harus terjadi pada Rahma, Dan?" Zaki menghirup oksigen sebanyak-banyaknya karena paru-parunya terasa sesak. Jantungnya terasa sakit. Seperti ada beribu jarum yang menusuknya. Dia sangat menyesali kejadian yang menimpa pada sang adik.

"Zak, semua ini terjadi sudah atas kehendak-Nya. Kita nggak bisa berbuat apa-apa, selain bertawakkal kepada-Nya." kata Ramdan menenangkan Zaki. Berusaha membantu Zaki untuk tidak menyesali apa yang sudah terjadi hari ini.

Adzan maghrib sudah berkumandang setengah jam yang lalu. Kedua laki-laki itu belum menunaikan ibadah shalat maghrib. "Lebih baik kita shalat maghrib dulu. Sebentar lagi mau isya," kata Ramdan mengingatkan.

"Rahma sampai sekarang belum cerita tentang kejadian tadi sore, Dan. Saya harus apa?"

"Zaki. Rahma nanti akan cerita dengan sendirinya, kok. Ayo, kita shalat dulu sebelum waktu shalat maghrib berakhir," kata Ramdan.

Zaki mengangguk. Genggaman tangannya dicoba dia lepaskan dari genggaman adiknya. Bukan terlepas, justru Rahma menggenggamnya semakin erat. Padahal, adiknya itu sedang tertidur dengan pulas dan damai.

"Tolong! Jangan! Jangan dekati saya!" Dengan mata yang masih terpejam. Rahma meneteskan air matanya. Yang semula dari setetes, air matanya pun mengalir dengan deras. Rahma menangis. "Tolong, jangan! Jangan sakiti saya!" katanya yang masih meminta tolong.

Bersanding Denganmuحيث تعيش القصص. اكتشف الآن