40. Kebenaran Yang Terungkap

503 24 0
                                    

Usia kandunganku sudah genap satu bulan. Begitu juga dengan udia kandungan bu Arum. Dan kulihat, perut bu Arum mulai terlihat buncit. Pak Ramdan merawat dan menjaga bu Arum dengan sangat baik. Aku tersenyum melihat sifat asli yang belum pernah ditunjukan oleh pak Ramdan padaku.

Pak Ramdan adalah tipe suami yang aku dambakan. Baik, shaleh, penghafal Qur'an, penuh dengan tanggung jawab, tulus, dan jujur. Sifat asli yang ditunjukan oleh pak Ramdan akhir-akhir ini adalah bawel dan penuh perhatian. Semenjak merawat dan menjaga bu Arum, pak Ramdan jadi bawel. Melarang bu Arum melakukan ini-itu, selalu mengingatkan bu Arum untuk meminum susu dan vitaminnya, dan pak Ramdan selalu menyiapkan makanan yang bergizi.

Cemburu? Tentu saja aku cemburu? Aku, sebagai orang istri juga memiliki perasaan. Terlebih lagi, aku istri tercintanya pak Ramdan. Tapi, setiap hari melihat pak Ramdan yang perhatiannya hanya fokus pada bu Arum, membuat aku mulai meragukan pak Ramdan.

Bagi pak Ramdan mungkin aku adalah istri tercintanya. Namun, bagiku, aku hanyalah orang asing yang tinggal satu atap bersama pasangan suami-istri yang tengah bahagia. Aku pun tersenyum kecut. Selama menjaga bu Arum, pak Ramdan tidak pernah ada waktu untuk aku.

"Pulang kuliah nantinya, aku mau ketemu sama Sifa, Rafa, dan Bara." Setelah selesai sarapan, aku memberitahu pak Ramdan.

"Hati-hati, ya? Pulangnya jangan sore-sore," kata pak Ramdan. "Oh iya, selesai mengajar nanti, aku dan Arum akan pergi kerumah ibu. Nanti kamu menyusul, ya?" Aku mengangguk dan menyalimi punggung tangannya.

"Assalamu'alaikum." Aku memberi salam. Pak Ramdan dan bu Arum menjawab salamku bersamaan.

***

"Wah, udah mulai terlihat kalau lo hamil ya, Ma?" ujar Sifa sambil mengusap-usap perutku. Aku tersenyum.

Kini aku sedang berkumpul bersama Sifa, Rafa, dan Bara dikafe yang berada tidak jauh dari kampus.

"Suami lo tau kalau lo lagi hamil?" Rafa yang bertanya. Sifa menyikut tulang rusuk Rafa. Aku tersenyum tipis. Sifa sudah mengetahui apa yang aku alami, begitu juga dengan Yumna. Karena aku bercerita kepada mereka berdua mengenai masalahku.

Aku menggeleng.

"Tapi, setidaknya dia menyadari perut lo yang membuncit, bukan?" Bara yang bersuara. Aku  menggeleng sambil tersenyum.

"Udah, mending kita bahas yang lain aja? Bahas apa kek, gitu?" kat la Sifa menyudahi obrolan yang mengenai diriku.

Dering handphone-ku berbunyi. Aku mengambilnya dari dalam tas. Nama pak Ramdan tertera di layar. Aku izin mengangkat telepon pada Sifa. Setelah Sifa mempersilakannya. Barulah aku menggeser panel hijau ke kanan dan menjauh dari mereka.

"Assalamu'alaikum." Aku memberi salam.

[Wa'alaikum salam. Kamu masih kumpul sama Sifa dan Rafa?]

"Iya, mas."

[Kalau sudah selesai. Segera kerumah ibu, ya?]

"Iya."

[Baiklah. Kalau gitu, saya tutup. Assalamu'alaikum]

"Wa'alaikum salam." Pak Ramdan menutup teleponnya. Aku melihat jam dihandphone-ku. Jam mengajar pak Ramdan baru saja selesai. Aku pun kembali menemui Sifa.

"Ada apa?" tanyanya.

"Aku nggak bisa lama-lama. Aku harus kerumah ibu."

"Mau aku antar?" Bara menwarkan diri untuk mengantarku.

"Tidak usah, Bar. Terimakasih." Aku menolaknya dengan halus. Bara mengangguk.

"Baiklah. Kalau kamu emang mau kerumah ibu sekarang, silakan saja." ucap Rafa.

Bersanding DenganmuWhere stories live. Discover now