Bab 42 :. Masalah Alana

522 75 1
                                    

Wajah Dimas menegang menatap Adi yang tersenyum miring di depannya. Laki-laki itu mengalihkan pandangannya pada Salsha. "Salsha kan, anak FTP?"

Salsha tidak langsung menjawab, dia menoleh pada Dimas dan detik itu tautan tangan mereka dilepas oleh Dimas.

"Lo salah paham, Di," kata Dimas.

"Oh ya?" Laki-laki itu adalah Adi, stalker Alana. Dia beralih lagi pada Salsha. "Lo selingkuhannya, Sal?"

"Hah?"

"Lo pacarnya kan?"

Salsha terdiam, dia berusaha mengkode Dimas tapi laki-laki itu hanya terdiam. "Dim, dia siapa sih?!" tanya Salsha dengan nada tinggi.

Adi mendengus geli, dia menepuk bahu Dimas kemudian berlalu begitu saja.

"Dim?"

Dimas menghela napas berat. "Itu Adi, Sal." Salsha menggeleng tidak mengerti. "Adi itu stalkernya Alana yang gue ceritain kemarin."

Salsha menyurai rambutnya ke belakang. Perempuan itu kini paham di mana letak masalahnya. "Terus ... lo mau gimana?"

"Nggak tau." Dimas meraih tangan Salsha lagi. "Gue juga bingung."

***

Sampai di depan kos Salsha, mereka duduk bersandar di kap mobil sambil menatap dua anak kucing yang tengah bermain. "Dim?"

"Hm?"

"Kayaknya lo harus selesaiin dulu sama Alana."

Dimas menoleh pada Salsha, laki-laki itu meraih tangan Salsha. "Sebenarnya, bukan masalah gue lagi, Sal. Gue udah gak ada hutang sama dia."

Salsha balas menggenggam taga Dimas. "Emang parah banget stalkernya?"

"Hmm ... lumayan."

"Contohnya?"

"Adi udah tahap tahu semua jadwal Alana. Dia juga beberapa kali ngirim fotonya Alana ke Alananya."

"Serem juga." Salsha menyelipkan anak rambutnya. "Kalau gue jadi Alana juga pasti risih."

Dimas hanya tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala. Dimas berdiri kemudian melangkah dan berhenti tepat di depan Salsha. "Masuk gih, lo besok kulah nggak?"

"Enggak. Lo?"

"Kuliah, sih. Tapi males masuk gue kayaknya."

Salsha memukul lengan Dimas pelan. "Kuliah aja sih, daripada ntar ipk jelek terus harus ngulang."

Dimas tersenyum, dia kemudian mencubit pipi Salsha gemas dan segera ditampis oleh pacarnya. "Apaan sih?!"

"Mending nyubit pipi pacar sendiri daripada pacar orang."

Salsha berdecak pelan. "Tapi, Dim, serius deh. Lo harus selesaiin ini sama Alana."

"Ngapain, gue kan—"

"Kasihan Alananya, Dim. Maksud gue, gimana kalau gue di posisi Alana?"

Dimas menggelengkan kepalanya. "Kalau lo yang ada di posisi Alana, yang stalker lo berarti gue."

"Dih!" Salsha menahan senyumnya. "Tapi, gue serius. Lo coba pikirin deh, jalan keluarnya. Kasihan juga Alananya."

Dimas terdiam sejenak. "Misalnya aja ya Sal, kalau gue bantuin dia lagi. Kemungkinan besar gue bakal terlibat terus sama dia. Dan ... gue pikir itu gak baik buat gue terutama lo."

"Iya ... tapi seenggaknya lo bisa kan, kasih Alana peringatan soal Adi yang tahu kalau kita bohong? Paling enggak dia bisa siap kalau-kalau Adi ngelakuin sesuatu yang buruk."

"Sal—"

"Lo harus Dim," tekan Salsha membuat Dimas lagi-lagi terdiam. Bukan tanpa alasan Salsha mengatakan hal ini, tapi dia bisa melihat kekhawatiran Dimas saat di mall dan sepanjang perjalanan pulang tadi. Salsha pikir akan baik jika Dimas bia menyelesaikan semua masalahnya.

***

Dimas menepikan mobilnya di depan rumah mewah dengan satpam yang berjaga di depan rumah tersebut. Laki-laki itu mengembuskan napas berat sembari bersandar. "Argh! bisa gila gue!" katanya setelah memikirkan ucapan Salsha entah untuk yang keberapa.

Dimas sebenarnya sudah sampai di apartemennya, tapi karena ucapan Salsha terus terngiang dia menjadi khawatir dengan kondisi Alana saat ini. Jadilah, sekarang Dimas berada di depan rumah perempuan itu.

Saat Dimas menelepon Alana, tiba-tiba saja matanya menangkap seseorang yang berdiri di balik pohon sambil menatap salah satu jendela yang ada di rumah Alana. Mata laki-laki itu menyipit. "Adi?"

Dimas segera membuka pintu mobilnya. Berlari kencang menuju tempat Adi berdiri, namun sayang Adi menyadari keberadaan Dimas dan dia pun segera menaikki sepeda motor yang terparkir tidak jauh dari sana lalu kabur sebelum Dimas berhasil menjangkaunya.

"Halo Dim? Dimas? Halo?"

Dengan napas tersenggal-senggal, dia mendekatkan ponsel ke telinganya. "Keluar Al, gue ad adi depan rumah lo."

***

"Maksudnya?"

"Adi lihat gue sama Salsha di mall," ulang Dimas sambil menatap perempuan yang terlihat bingung itu. "Dia tahu kalau gue sama Salsha pacaran dan hubungan lo sama gue cum-"

"Lo jadian sama Salsha?" sela Alana dengan nada sedikit meninggi. Dimas menghela napas berat sambil mengangguk pelan. "Wah! Akhirnya! Selamat ya, Dim! Ikut seneng gue dengarnya."

Dimas tidak menyangka bahwa respon itu yang diberikan Alana. Laki-laki itu menggeleng pelan. "Enggak, Al. Lo ngerti nggak sih, situasinya sekarang gimana?"

"Seneng. Kan lo jadian sama Salsha."

"Bukan itu."

Alana terkekeh geli. "Soal Adi?" tanyanya membuat kepala Dimas mengangguk teratur. Alana mengibaskan tangannya seolah hal tersebut sudah tidak perlu dikhawatirkan lagi. "Dim, gue udah gak mempermasalahkan Adi lagi. Lo ingat kan, apa yang gue ceritain soal Adi?"

"Yang mana?"

"Yang dia itu tulang punggung keluarganya."

"Hmm, terus?"

"Gue kasihan aja sama dia. Ternyata, di kampus Adi juga dibully gitu. Eh, bukan dibully sih." Alana cepat meralat ucapannya. "Dia itu orangnya penyendiri, kata salah satu kenalan gue juga dia sebenarnya baik, cuma ya itu dia minder sama kehidupannya yang serba kekurangan."

Dimas mengusap tengkuknya. "Tapi hal itu gak bisa dijadiin alasan buat lo jadi gak waspada gini." Dia menatap Alana lekat. "Barusan gue lihat dia lagi mandangin rumah lo, Al."

"Iya gue juga tau kok."

"Hah?"

"Setiap hari dia emang sering mampir ke sini. Dia emang sering diam aja di depan selama lima belas menitan." Alana menggedikkan bahunya. "Gue emang takut sih, tapi ... kalau dipikir-pikir dia gak pernah ngelakuin hal lebih dari itu."

"Tetep aja Al, kelakuannya itu gak wajar."

Alana tersenyum tipis. "Lo tenang aja, gue udah berencana ngobrol baik-baik sama dia kok. Kalau emang kondisinya gak memungkinkan ... gue berencana ajak bokap gue," katanya kemudian tertawa pelan. "Udah kek bocah aja."

Dimas menggelengkan kepalanya heran, dia tidak tahu di mana letak kelucuan dari situasi saat ini. Hingga Alana menepuk bahu laki-laki itu pelan. "Bukan tanggung jawab lo kok, Dim. Udah seharusnya gue yang nyelesaiin masalah ini."

"Iya, tapi gue-"

"Santai aja, gue udah mikirin ini mateng-mateng, kok."

Dimas menghela napas berat. Dia tidak bisa membujuk Alana lagi, laki-laki itu hanya mengangguk pelan seraya berkata, "yaudah, kalau lo perlu bantuan. Telepon gue aja."


About DimasWhere stories live. Discover now