20. Sekolah Membosankan

724 88 2
                                    

Alih-alih menyiasati agar tidak bosan mengikuti mata pelajaran, Bella menggambar sesuatu dalam buku catatannya. Entah itu seperti apa, masih sebuah coretan-coretan. Masih belum berbentuk. Beberapa menit mengoreskan pensil di lembar buku catatannya, akhirnya coretan-coretan itu mulai terbentuk.

Beberapa kali mempertebal gambarannya dengan pensil 5B. Gambar itu menjadi lebih nyata. Benar gambar wajah. Wajah manusia yang sedang tersenyum manis dengan mata sipitnya. Seakan memberikan sebuah kebahagiaan yang berselimut sebuah kerapuhan.

"Gambar apa, Bell?" tanya Keyla dengan sangat pelan, bahkan semut pun tidak mampu mendengarnya, "Kayak senyumnya Angelo, deh?" tebak Keyla.

"Iya, emang senyumnya Angelo, manis, ya, Key?"

"Manis banget, gula aja kalau disandingkan sama senyumnya Angelo pasti minder."

"Bisa aja deh ngibulnya."

"Menurutku, kenapa kamu enggak buat Angelo sebagai penyemangat hidupmu? aku yakin Angelo mampu menjadikanmu, pribadi yang lebih baik."

Kata-kata bijak Keyla seakan mampu membukakan mata hati Bella. Dia baru sadar memiliki seorang sahabat yang selalu membuatnya merasakan makna hidup yang sesungguunya. Sahabat yang selalu ada untuknya. Angelo tidak pernah mengeluh tentang apa saja yang dia rasakan. Selalu tersenyum walau tubunya sedang berjuang mati-matian untuk memperjuangkan hidupnya.

Bukankah sehabis pulang sekolah nanti dia ada sebuah janji untuk bertemu dengan Angelo. Teringat namanya saja, Bella seakan memiliki gairah untuk hidup lebih baik lagi dari hari ini. Senyum Bella merekah, seakan mengambarkan isi hatinya yang mulai berbunga lantaran akan segera bertemu sahabatnya itu.

"Benar juga, Angelo adalah semangatku, tidak pantas rasanya jika aku mengeluh. Beban Angelo lebih berat dariku." Bella menyadari jika dia harus bersemangat kembali.

***

Sebuah toples kaca berukuran sedang, berisi sepasang kura-kura hijau, berada di atas sebuah meja bulat, yang berada di samping lemari kaca. Kura-kura itu sengaja diletakkan di tempat itu untuk menjadikan daya tarik bagi penghuni rumah lainnya. Lantaran sepasang kura-kura itu adalah anggota baru keluarga Angelo. Baru beberapa hari dia mengadopsi kura-kura tersebut dari ibunya, sebagai sahabat baru Angelo.

Sudah pukul enam belas. Ini sudah sore, sebentar lagi Ayah Angelo akan pulang dan pastinya bertanya tentang peliharaan baru Angelo itu. Namun, Danu selalu memberikan perhatian lebih terhadap anak bungsunya itu. Sebenarnya Danu menyayangi kedua anaknya, tetapi ada yang sedikit membedakan. Angelo special. Itu yang membedakannya.

"Mbak Tika, tolong buatin susu dong!" pinta Angelo dengan nada manja, "Bawain kue cokelat juga, ya, Mbak."

"Iya, Mas Angelo, mau apa lagi, Mas?"

"Udah itu aja dulu. Enggak pakai lama, ya, Mbak!"

"Oke bos!"

Malam ini sepertinya akan turun hujan. Terlihat dari gumpalan-gumpalan awan hitam di langit biru. Jika malam ini turun hujan, besok pagi Angelo akan pergi ke danau yang berada di dekat kompleks rumahnya. Pasti seru, bermain dengan sahabat barunya yang belum memiliki nama itu.

Terdengar suara pintu terbuka. Pasti itu Ayahnya atau mungkin Bella, sahabatnya. Bukankah hari ini Bella sudah janji ingin menenggok kura-kura barunya Angelo, dan mungkin akan ikut andil dalam perberian nama salah satu kura-kura tersebut.

"Selamat sore!"

"Ayah, kenapa pulangnya sore sekali?" tanya Angelo sambil memeluk sang Ayah yang memakai setelan jas berwarna hitam. "Ayah baunya asem," cepat-cepat Angelo melepaskan pelukkannya.

"Biar asem begini, kamu lengket sama Ayah, ini karena macet parah."

"Namanya juga Jakarta, enggak afdol kalau enggak macet," sahut Angelo melawak.

"Oh, iya, katanya punya sesuatu yang ingin kamu tunjukin ke Ayah. Apa itu?"

Angelo dengan gesit mengambil sebuah toples kaca yang di dalamnya terdapat sepasang kura-kura hijau.

"Thara!" Angelo berlagak ala pesulap, "Sepasang kura-kura hijau dari Brazil."

"Wah, lucu sekali, dari mana dapatnya?"

"Dapat dari kolam. Ya, enggaklah, Yah, waktu kemarin ke rumah singgah kanker sama Tante Karina, pulangnya beli ini. Baguskan, Yah?"

"Dirawat yang baik, agar cepat tumbuh besar. Oke?"

"Pasti dong, Yah."

"Ayah ke kamar dulu, ya, mau mandi, dandan yang rapi biar enggak dikatain bau lagi."

"Huuu ... masih gantengan aku kale, Yah!"

"Iya ... iya ... masih gantengan Angelo tapi kan Angelo anak Ayah, berarti level Ayah lebih tinggi."

"Iya, deh, menyenangkan orang tua dapat pahala, "kan?"

Danu tertawa, menyipitkan kedua matanya, "Ayah, ke atas dulu, ya." Danu berlari menaiki anak tangga.

Bruk ....

Sebuah bunyi yang memekakan telinga Angelo. Membuatnya hampir melepaskan genggamannya pada toples kaca yang berisi kura-kura. Suara apa itu? Sepertinya suara pintu yang sengaja dibanting. Tapi, siapa yang membantingnya?

Dengan ragu Angelo mendekati sumber bunyi tersebut. Astaga sesosok tubuh kekar terkapar tidak berdaya di dekat pintu kamar Andra. Wajah yang selalu terlihat ramah itu menjadi sangat pucat. Tubuhnya telah terkulai lemas di atas dinginnya lantai rumah. Pak Sukri pingsan. Supir pribadinya, sekaligus salah satu teman Angelo. Entah apa yang telah terjadi.

"Tolong!" Angelo berteriak semampu tenaganya. Berharap ada orang yang segera membantunya. "Ayah!"

Seketika Danu, Mbak Tika, serta dua satpam rumahnya, datang dengan tatapan bingung tentang apa yang baru saja terjadi. Angelo memasang wajah sendu. Dia tidak pernah menyangka musibah itu terjadi tanpa bias diduga.

"Apa yang terjadi?"

"Aku enggak tahu Ayah, setahuku Pak Sukri sudah pingsan seperti ini."

"Ya, sudah, Ayah bawa ke rumah sakit dulu, kamu di rumah aja, ya."

"Aku ikut, Yah, bagaimanapun Pak Sukri sudah aku anggap seperti pamanku sendiri."

"Baiklah, kamu ambil jaket. Ayah tunggu di mobil."

Sepertinya saat tadi pagi mengantarkannya untuk chek up, Pak Sukri masih terlihat sehat. Apa yang sedang terjadi?

***

Goodbye Angelo ✔️ (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang