19. Berjalan dengan Cara Sendiri

808 97 0
                                    

Bau obat-obatan terasa sangat menyengat. Ruang tunggu dokter umum sudah ramai calon pasien, dengan ribuan keluhan. Seorang suster memakai pakaian putih, terlihat membawa buku catatan untuk calon pasien. Rumah sakit ini adalah satu di antara banyak rumah sakit yang ada di Jakarta yang memiliki fasilitas terbaik untuk penderita hemofilia.

Seorang pasien tetap rumah sakit itu sedang asyik bermain game di ponselnya. Dia mengunakan celana jeans hitam dengan atasan kaos oblong biru bersampul jaket berwarna abu-abu. Terlihat aneh, tapi itu yang dia suka. Beberapa lama menunggu akhirnya gilirannya untuk masuk ruangan dokter yang terkenal tampan itu.

"Pagi, Dokter Ilham."

"Pagi juga Angelo, gimana kabarnya?"

"Baik Dok, Dokter sendiri?"

"Saya juga baik, lebih baik lagi ketika melihat kamu bisa sehat seperti saat ini. Oh, iya, kamu ke sini diantar siapa?"

"Supir," sahut Angelo memainkan bolpoin di meja kerja si dokter, "Ayah lagi ada proyek di luar kota, jadi tidak bisa mengantar hari ini."

"Ya sudah, periksa dulu ya, nanti kita lanjutkan lagi perbincangannya."

Wajah dokter tampan itu menjadi sedikit murung ketika melihat hasil cek up Angelo siang itu. Sepertinya ada yang buruk tentang kesehatan si pasien. Dengan wajah yang terkesan dibuat sebahagia mungkin, dokter tersebuat menyampaikan hasilnya.

"Angelo, hasilnya cukup baik sampai sekarang."

"Benarkah, kalau begitu bolehkah dong bermain basket?"

Dokter Ilham bingung harus menjawab apa. Pasiennya kali ini memang sangat aktif, berbeda pasiennya yang lain. Namun, kondisinya yang kurang baik membuat Angelo, mungkin harus mengurungkan niatnya untuk bisa bermain basket.

"Kalau itu belum boleh, kalau cuma lihat baru boleh."

"Ya, enggak ada tantangannya dong, Dok."

"Pengen ada tantangannya, olah raga catur saja."

"Catur juga olahraga, ya?"

"Olah raga otak."

"Ah ..., Dokter Ilham bisa saja."

Perbincangan antara dokter dan pasien itu begitu akrab. Dokter yang sudah memiliki beberapa uban di rambutnya itu mampu menjadi teman berbincang untuk Angelo. Dokter Ilham memahami karakter Angelo yang terkesan ceria, namun menyimpan kerapuhan.

Beberapa resep obat ditulis oleh Dokter Ilham dalam secarik kertas putih yang memiliki beberapa garis. Sepertinya obat yang akan ditebus oleh Angelo lebih banyak dari obat yang dia minum selama ini.

"Angelo, obat yang harus kamu minum dosisnya saya tambah. Sepertinya kamu lebih banyak beraktifitas, sehingga akan mudah lelah, jadi dosis obatnya saya tambah."

"Baik, Dok," jawab Angelo dengan nada ceria tanpa memiliki prasangka buruk.

"Lusa saya ingin bertemu dengan Ayahmu."

"Nanti saya sampaikan, kalau sudah selesai, pulang dulu, ya, Dok."

"Iya, hati-hati di jalan."

Bayangan Angelo telah menghilang dari ruangan yang memiliki aksen serba putih. Wajah dokter tampan itu masih sama seperti tadi. Tapi kali ini lebih merasa bersalah telah berbohong pada Angelo. Mau dikata apa, dia tidak mau membebani Angelo dengan hasil chek up yang cukup buruk. Semoga rasa bersalah tersebuat akan hilang setelah bertemu dengan Danu dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dengan putranya.

Goodbye Angelo ✔️ (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang