53 | Disaster

1.2K 62 3
                                    

Yocelyn melangkahkan kakinya menyebrangi jalan menuju Central Park. Ia pun mengambil ponselnya dari tas dan kemudian menelpon Andrew sembari menoleh kesana kemari mencari keberadaan laki-laki itu.

"Dimana kau?" Tanya Yocelyn setelah telepon tersambung.

"Masuk saja dulu. Aku ingin kau berjalan dengan santai sambil menikmati udara hari ini," timpal Andrew dengan nada santai.

"Jangan banyak omong kosong, Andrew. Kalau ingin bertemu, katakan saja dimana kau sekarang dan aku akan langsung datang," sergah Yocelyn dengan nada serius sembari berjalan.

"Ckckck, kau cukup ikuti saja perintahku dengan santai dan aku jamin tidak akan terjadi apapun pada kekasih sialanmu dan teman-temanmu yang berharga itu," ucap Andrew yang kemudian tersenyum sinis.

Yocelyn mencoba sabar. Akhirnya, ia menutup teleponnya dan kemudian mengikuti kemauan Andrew tadi. Ia berjalan menyusuri Central Park dengan santai, namun ia juga sembari menoleh kesana kemari dengan pelan bermaksud untuk mencari keberadaan Andrew. Tidak akan lucu kalau tiba-tiba Andrew datang dari belakang sambil menutup mulut Yocelyn dan kemudian menculiknya dengan kasar.

"Kau takut?" Langkah Yocelyn langsung berhenti ketika ia mendengar suara yang ia kenal dari belakang. Kemudian, ia berbalik untuk melihat Andrew.

Andrew tersenyum pada Yocelyn. Tapi, bagi Yocelyn itu adalah senyum yang menakutkan, bukan senyum Andrew yang menyenangkan atau menyejukkan.

"Hey, kau merindukanku?" Tanya Andrew masih dengan senyumnya itu.

"Apa maumu, Andrew?" Yocelyn bertanya balik, tak menjawab pertanyaan basa-basi Andrew.

Andrew melangkah mendekati Yocelyn, dengan kedua tangan di saku celananya. Kemudian, ia menatap lekat-lekat Yocelyn yang sedang menutupi rasa takutnya.

"Kenapa kau jadi dingin padaku, hm? Aku tidak pernah berniat untuk melukaimu. Apa kekasihmu itu mencuci otakmu sehingga kau jadi sadis padaku, hm?" ucap Andrew dengan suara yang rendah sembari menjulurkan tangan kanannya untuk menyentuh pipi kanan Yocelyn. Namun, Yocelyn langsung menepis tangan Andrew. Sementara Andrew hanya menatap tangannya yang ditepis dengan miris.

"Kalau kau memang tidak berniat untuk melukaiku, tolong tinggalkan aku dan Devian dengan tenang, biarkan kami hidup damai. Tolong jangan ganggu kami." Yocelyn mencoba memohon dengan baik.
​Andrew hanya diam. Namun, beberapa saat kemudian ia tersenyum sinis menatap Yocelyn.

"Bagaimana bisa aku membiarkannya mengambilmu? Aku tidak bisa membiarkan laki-laki sialan itu mengambilmu dariku," ucap Andrew yang entah kenapa terkesan seperti kesal dan bercampur perintah tak terbantahkan walau itu bukan perintah.

"Tolong katakan saja apa maumu dan kita selesaikan dengan damai," ucap Yocelyn memohon lagi.

"Aku juga sudah bilang padamu sebelumnya, bukan? Kalau kau menurutiku dan melakukannya dengan kesadaranmu sendiri, nantinya tidak akan ada yang terluka," balas Andrew.

Yocelyn menghela napasnya sambil memejamkan matanya sejenak. Kemudian, ia menatap Andrew lekat-lekat. "Baiklah, katakan apa maumu."

***

Jam tangan Devian sudah menunjukkan pukul dua siang. Artinya, sudah satu jam lebih Yocelyn keluar dan belum kembali sampai sekarang.

"Kenapa dia tidak menghubungiku?" Devian bertanya pada dirinya sendiri sambil gusar mengecek ponselnya karena Yocelyn yang tak kunjung pulang. Kemudian, ia mencoba untuk menghubungi Yocelyn. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. "Tidak diangkat."

"Aku sudah mengiriminya pesan, tapi belum ada yang dijawab," ucap Lily yang kini juga menjadi khawatir.

Devian sudah tidak bisa tenang lagi. Dia berdiri dan berjalan kesana kemari sambil mencoba menghubungi Yocelyn. Namun hasilnya selalu sama, tidak dijawab.

"Ayo kita cari di kamarnya saja," ucap Aaron kemudian.

Tak lama setelah itu, mereka sudah sampai di kamar Yocelyn setelah berlari dengan perasaan gusar. Namun, harapan mereka pupus. Yocelyn tidak ada di kamarnya. Bahkan, sepertinya tidak ada tanda-tanda dia masuk kesini tadi.

"Yocelyn, dimana kau?" Devian semakin tidak tenang. Dia hanya menjambak rambutnya sembari menelpon ponsel Yocelyn terus menerus walaupun hasilnya masih saja selalu sama.

"Aku akan meminta orang-orangku untuk mencarinya," ucap Aaron sembari mengeluarkan ponselnya dari sakunya.

"Aku sudah memasang pelacak di ponselnya. Akan kucoba mencarinya," ucap Devian sambil mengutak-atik ponselnya untuk melacak keberadaan Yocelyn.

"Aku memasangnya semalam untuk berjaga-jaga dan sekarang... ketemu!"

"Dimana dia?" Tanya Lily yang daritadi khawatir pada temannya.

"Central Park."

***

Tak perlu memakan waktu lama, Devian, Aaron, dan Lily sudah sampai di Central Park. Mereka mengikuti arah dari ponsel yang digunakan Devian untuk melacak keberadaan Yocelyn.

Saat mereka sampai di sebuah titik yang ditunjukkan di layar ponsel Devian, tidak ada apapun disitu. Namun, lampu di layar ponsel Devian berkedip disitu menandakan seharusnya Yocelyn disitu.

"Tidak ada. Dimana dia?" Tanya Lily.

"Shit." Tiba-tiba Devian mengumpat membuat Aaron dan Lily langsung terfokus padanya. Devian mengambil sesuatu dari balik batu. Ternyata itu ponsel Yocelyn.

"Apa..." Lily tercekat.

Sementara itu, rahang Devian mengeras. Ia kemudian membuka ponsel Yocelyn. Ia meneliti pesan dan catatan panggilan di ponsel itu.

"Andrew." Devian mengerang marah sembari meremas ponsel yang ia bawa.

Tiba-tiba ponsel Aaron berdering. Ternyata itu dari mata-mata Aaron yang dari awal diberi tugas untuk membuntuti Andrew. Mereka berbincang-bincang di ponsel dan Aaron tampak sangat serius.

"Dev, Andrew sudah check out dari hotel dan baru saja meninggalkan New York," ucap Aaron.

"Kemana?"

"Kembali ke London," timpal Aaron. "Mata-mataku bilang Andrew pergi bersama dengan seorang perempuan."

"Sudah pasti itu Yocelyn! Astaga!" seru Lily yang mulai gusar.

"Sialan!" Devian menjambak rambutnya frustasi dan kemudian memukul pohon besar di sampingnya. Rasa sakitnya pastilah tidak sebanding dengan rasa kesal yang ia rasakan sekarang ini.

"Aaron, aku pinjam jetmu."

***

"Kau boleh pergi, Dylan. Batalkan semua jadwalku hari ini," ucap Andrew memberi perintah kepada Devian yang sudah mengantarnya dan Yocelyn ke kediaman Andrew. Setelah itu, Dylan pergi menuruti Andrew.

"Katakan, apa ada mata-mata yang membuntutiku? Atau mungkin membuntutimu?" Tiba-tiba Andrew bertanya sembari menatap Yocelyn.

"Apa maksudmu?" Tanya Yocelyn mencoba bersikap tenang dengan Andrew yang kini menjadi lebih mengintimidasi.

Seketika Andrew langsung tertawa dingin. Bahkan, bulu kuduk Yocelyn berdiri saat mendengarnya.

"Aku bercanda. Ayo, masuk!" ajak Andrew yang mencoba untuk merangkul pinggang Yocelyn. Namun, tangan Andrew lagi-lagi ditepis Yocelyn yang membuat Andrew tersenyum sinis dan memandang perempuan itu memasuki rumahnya meninggalkannya di halaman depan.

"Anggap saja rumah sendiri," ucap Andrew setelah masuk ke rumahnya dan menutup pintunya. Ia pun mengambil sesuatu yang sudah ia siapkan di dapur. Sementara Yocelyn masih berdiri di ambang pintu ruang tengah membelakangi Andrew.

Hal berikutnya yang terjadi, Yocelyn tidak bisa menjelaskannya panjang lebar. Tiba-tiba saja mulutnya dibekap dengan sejenis kain dan berbau alkohol yang kadarnya sangat kuat. Ia sudah mencoba memukul-mukul lengan orang yang membekapnya dari belakang. Tapi, usaha itu hanya sia-sia.

Samar-samar Yocelyn mendengar orang itu berkata, "Kau pikir aku bodoh, hm? Kita lihat saja nanti kalau kekasih sialanmu itu bisa selamat kesini menyelamatkanmu atau tidak." Setelah itu, yang Yocelyn rasakan hanyalah kegelapan dan rasa dingin.
——————————————————————————
Tbc.
Friday, 20 March 2020

First Love - Bachelor Love Story #2Where stories live. Discover now