14 | Cooperation Agreement

1.4K 66 0
                                    

Devian POV
​"Be careful with your words."

Aku tak mengerti kenapa Yocelyn berkata sebegitu seriusnya padaku. Bahkan, dia terlihat seperti sedikit marah padaku, padahal apa yang kutanyakan tadi hanyalah candaan.

"Kau tidak perlu menanggapinya terlalu serius, Yocelyn. Kau tahu? Kalau kau terlalu banyak marah, akan ada banyak keriput di sekitar wajahmu," ujarku sambil sedikit tertawa, berharap suasana tegang di sekitar kami akan mencair.

"Jadi, kau memintaku untuk menjadi sepertimu yang selalu menganggap semuanya hanyalah lelucon?" tanya Yocelyn masih dengan kesal. Oke, mungkin aku salah bicara padanya. Tapi jujur, aku sangat tidak mengerti ini.

Aku menghela napasku sambil memejamkan mataku sekilas. "Oke, mungkin kata-kataku tadi membuatmu marah dan bahkan menyakiti hatimu. Tapi, aku tidak serius dengan tadi. Tolong jangan marah hanya karena candaanku," pintaku.

Yocelyn masih menatapku dengan kesal. Sementara aku sudah memasang puppy eyes-ku memohon maaf padanya. Diapun memalingkan wajahnya sambil menghela napasnya kasar dan kemudian kembali menatapku.

​"Oke, terserah," ujarnya yang langsung membuatku tersenyum kembali. "Kita ganti topik saja," ucapnya. "Jadi, kenapa kau memintaku untuk bertemu?"

​Aku tersenyum dan kemudian membenarkan posisi dudukku. "Apa kau sudah makan?" tanyaku sambil masih tersenyum dan membuka buku menu yang besar.

"Aku tidak ingin makan sekarang. Tadi pagi aku sudah makan salad dan lagipula nanti aku harus bertemu dengan seseorang dan makan siang bersama," timpal Yocelyn.

Di balik buku menu yang tengah kupegang hingga menutupi wajahku—tapi tidak kubaca—aku sedang bertanya-tanya. Siapa seseorang yang akan ditemui Yocelyn itu. Entahlah. Tapi, aku penasaran. Setiap kali itu menyangkut Yocelyn, selalu saja aku jadi penasaran. Dan itu entah sejak kapan.

Aku menurunkan buku menuku dan kulihat Yocelyn tengah memainkan ponselnya. "Kau yakin tidak akan makan dulu?" tanyaku lagi.

"Tidak," timpalnya sambil menggelengkan kepalanya dan memasukkan ponselnya ke tas lagi.

"Apa itu Andrew?" tanyaku dengan menunjuk kearah tasnya dengan daguku sambil meminum teh hijauku.

"Apa maksudmu?" tanya Yocelyn tak mengerti.

​"Apa tadi kau sedang berkirim pesan dengan Andrew?" tanyaku lagi memperjelas yang tadi. "Aku berpikir, mungkin setelah skandalmu dengan Andrew kemarin, kau jadi dekat dengannya," ucapku sambil tanpa melihatnya. Aku jadi malas membicarakan topik masalah ini, padahal aku yang memulainya.

Yocelyn memiringkan sedikit kepalanya ke kanan dengan dahi yang berkerut. "Tentu saja tidak," ujarnya. "Setelah kejadian skandal tempo hari, aku selalu berhati-hati setiap kali itu menyangkut Andrew," ujarnya lagi. "Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?" tanya Yocelyn.

"Kalian sudah kenal sejak kapan?" tanyaku mengabaikan pertanyaan Yocelyn tadi.

Kulihat Yocelyn seperti tengah berpikir keras. Matanya menari-nari kesana kemari, seperti sedang menghitung. Kemudian, iapun kembali menatapku dan menjawab, "Aku tidak tahu. Aku lupa."

"Kalian dekat?" tanyaku lagi bertepatan dengan Yocelyn yang tengah meminum teh hijaunya.

"Kami teman," timpalnya. "Kau temannya juga, kan?" tanyanya kemudian.

"Begitulah," timpalku sambil mengendikkan bahu

​"Bagaimana kau bisa berteman dengan aktor papan atas sepertinya?" tanya Yocelyn.

"Saat itu, aku menolong anak kecil yang jatuh dari sepeda dan membawanya ke rumah sakit milik Luke. Dan ternyata anak itu adalah adik Andrew," jelasku dan dia manggut-manggut mengerti.

Setelah itu, kami berbincang tentang banyak hal. Seperti, tentang kapan aku pindah kesini, dimana tempat tinggalku, pertemananku dengan Luke dan Andrew, hingga tentang Lily dan Aaron. Kurasa, ini perbicangan terhangat kami... sejauh ini.

***

​Pukul 1 siang. Sudah 2 jam sejak aku berpisah dengan Yocelyn tadi di restoran. Dan kini aku sudah ada di kantorku mengerjakan pekerjaan baruku.

Tok tok tok.

​Pintu kantorku diketuk tiga kali. "Masuk!" seruku sambil masih menatap ke laptopku. Pintu pun terbuka dan menampakkan Martin, manajer utama perusahaan ini dan dia juga adalah penanggung jawab majalah yang perusahaan luncurkan.

​"Ada apa, Martin?" tanyaku langsung.

"Begini, Sir. Tak lama lagi kita akan meluncurkan majalah pertama kita. Tapi kita masih belum bisa menemukan model yang akan kami pajang di sampul majalah kita. Nantinya, profil model ini juga akan kita pasang di halaman awal majalah," ujar Martin.

Aku manggut-manggut mengerti. Lalu, sebuah ide langsung terpintas di kepalaku. "Apa yang kau butuhkan untuk merekrut model?" tanyaku pada Martin.

"Kami hanya perlu meyakinkan modelnya untuk bisa bergabung dengan kita. Caranya, seperti melakukan berbagai presentasi, kalau diperlukan," jawab Martin.

"Oke, kalau begitu siapkan semuanya! Aku akan menemui temanku," ujarku. "Kutunggu 30 menit lagi," ujarku lagi dan Martin pun keluar dari ruanganku.

***

​Aku keluar dari mobilku dan kini menghadap bangunan tinggi, sebuah perusahaan agensi dimana Andrew juga bekerja untuk perusahaan besar ini. Akupun masuk dan langsung menuju kantor atasan Andrew setelah tadi sebelumnya aku sudah meminta izin bertemu pada Andrew dan juga atasannya.

"Devian!" seru Andrew sesaat setelah aku membuka pintu ruangannya. "Aku menunggumu, buddy," ujar Andrew.

"Apa aku terlambat?" tanyaku sambil duduk di samping Andrew.

"Tidak," jawab Andrew.

"Baguslah," ujar Devian. "Jadi, sekarang aku bisa memulainya, kan? Aku akan memberikan—"

"Apa yang kau lakukan?" tanya Andrew menyelaku yang sudah berdiri hendak mempersiapkan presentasinya pada Andrew.

"Presentasi," timpalku.

Sontak, Andrew terkekeh mendengarnya. "Kau tidak perlu melakukan itu," ujarnya.

"Lalu, bagaiamana?" tanyaku lagi.

Andrew tersenyum padaku. "Aku akan melakukannya," ucapnya.

Saat ini aku seperti tidak bisa mengatakan apapun. Aku menjadi speechless. Aku tidak menyangka kalau Andrew akan menerimanya secara langsung, padahal Andrew adalah aktor papan atas.

"Oke, ini surat kontrak perjanjian kerjasamanya," ucapku sambil menyerah beberapa lembar kertas pada Andrew yang nantinya memperlukan tanda tangan Andrew. Usai itu, akhirnya sudah ditetapkan, kalau Andrew akan menjadi model sampul majalah pertama perusahaan Devian.
——————————————————————————
Tbc.
Saturday, 5 October 2019

First Love - Bachelor Love Story #2Where stories live. Discover now