41 | I Don't Want to Lose Her

1.1K 61 2
                                    

Devian POV

"Aku tidak ingin ada masalah pribadi masuk ke masalah pekerjaan, Devian. Aku harap ketidakinginanmu tentang Andrew menjadi model tahun ini bukan karena masalah pribadi kalian."

Entah kenapa ucapannya yang terkesan bossy masih terngiang di kepalaku. Senyumku tidak bisa luruh dikala bayangannya masih ada di kepalaku. Yocelyn sangat menggemaskan.

Aku bahkan masih memikirkan perempuan itu sambil duduk berputar di kursi putarku dengan ponsel milik perempuan itu yang kini tengah kuputar-putar. Sebentar lagi Yocelyn pasti akan mencariku karena ponselnya ada disini, pikirku.

Tiba-tiba saja ponsel Yocelyn berdering. Saat kulihat ternyata yang menelepon adalah  Andrew. Sambil menahan kesal, aku pun mengangkatnya.

"Yocelyn sayang, kau dimana?" tanya Andrew sesaat kemudian.

Seketika darahku mendidih saat Andrew memanggil Yocelyn dengan sebutan itu. Sangat menjijikkan, membuatku benar-benar ingin menghajarnya sekarang juga.

"Ada apa kau menelepon Yocelyn?" tanyaku kemudian dengan ketus.

Aku tidak mendengar suara apapun selama beberapa detik, sebelum akhirnya Andrew berkata, "Kenapa ponselnya ada padamu?"

Tentu saja aku tidak bisa menahan betapa senangnya membuat Andrew kesal dan cemburu. "Tentu saja itu karena aku sedang bersamanya, bodoh," ucapku.

"Dimana Yocelyn?" tanya Andrew tanpa basa-basi.

"Dia sedang di kamar, aku tidak ingin mengganggunya karena aku tahu dia pasti cukup lelah karena tadi malam," ucapku asal. Oh, aku bisa mendengar helaan napasnya yang kasar. "Berhenti mengganggunya, Andrew."

"Bagaimana kalu aku tidak mau?" balas Andrew yang langsung membuatku kesal. "Ya, Yocelyn memang perempuan yang mudah dibodohi. Dia pasti akan mudah jatuh ke pelukanku juga kalau aku berlaku manis di depannya. Bukankah begitu?"

Tanpa kusadari tanganku menggenggam ponsel Yocelyn dengan sangat kencang. Rasanya amarahku sudah tidak bisa kupendam lagi. Bagaimana bisa Andrew berkata seperti itu tentang Yocelyn?

"Jangan berkata yang tidak-tidak tentangnya, Andrew. Kau tidak mengenalnya, jadi kau tidak pantas berbicara seperti itu padanya. Watch your mouth," ucapku dengan penuh penekanan.

Andrew tertawa gurih di seberang yang aku yakin bukan karena sebuah candaan. "Kalau begitu, kau tahu segalanya tentangnya, hm? Tidak, bukan?"Dia benar-benar sudah kelewatan, pikirku.

Saat aku hendak menimpalinya, tiba-tiba panggilan terputus secara sepihak. Baguslah, dia dapat menghindar dari amarahku.

Bertepatan dengan itu juga, pintu ruanganku diketuk. Setelah aku mempersilakan masuk, kulihat sekretarisku menampakkan dirinya.

"Pak, ada dokumen yang perlu tanda tangan Anda hari ini," ucapnya sambil berjalan ke arah mejaku sambil membawa 3 map dengan warna berbeda. Aku tidak menjawabnya dan hanya menandatangani dokumen-dokumen itu dalam diam. Setelah selesai, aku menyerahkannya pada sekretarisku lagi.

"Apa sedang ada masalah, Pak? Anda terlihat sangat muram, berbeda dari tadi pagi saat Anda bersama Nona Yocelyn," ucap sekretarisku tiba-tiba.

Aku tidak membalasnya. Aku hanya menghela napasku kecil sambil menutup kedua mataku dan bersandar pada kursi kebesaranku.

"Well, Anda bisa bercerita pada Saya, Pak," ucapnya lagi. "Jika Anda mau," lanjutnya lagi.

Kedua mataku terbuka dan menatap sekretarisku yang tengah berdiri di depan mejaku sambil tersenyum manis—tidak semanis senyum Yocelyn. Aku pun jadi berpikir. Tidak ada salahnya aku bercerita kekesalanku gara-gara Andrew tadi. Lagipula sekretarisku ini cukup tahu tentang aku dan Yocelyn.

Akhirnya aku bercerita hampir semuanya pada sekretarisku. Tentang Andrew dan juga tentang percakapanku dan Andrew tadi.

lJadi, percakapan mana yang membuat Anda kesal dan murung seperti tadi, Pak?" tanyanya.

"Ya, Yocelyn memang perempuan yang mudah dibodohi. Dia pasti akan mudah jatuh ke pelukanku juga kalau aku berlaku manis di depannya. Bukankah begitu?" Aku menghela napasku sedikit kasar saat mengatakannya.

"Apa... itu benar?"

Tunggu... Yocelyn?

Aku langsung menoleh ke belakangku dengan cepat. Benar saja. Aku mendapati Yocelyn yang berdiri disitu dengan tatapan yang argh! Pasti dia salah paham karena apa yang baru saja kukatakan.

"Yocelyn, kenapa... kenapa kau ada disini?"

Bodoh! Bodoh! Hanya pertanyaan itu yang keluar begitu saja dari mulutku. Oh, rasanya aku ingin menampar diriku sekarang ini. Aku merasa sangat bodoh sekarang. Kenapa aku bertanya pertanyaan itu?

Sungguh, dia pasti salah paham sekarang. Entah kenapa aku dapat melihatnya dari pancaran matanya sekarang dan aku tidak menyukainya.
​Aku dapat melihat Yocelyn yang kini terfokus pada sekretarisku di belakangku. Ya Tuhan, jangan lagi, kumohon. Aku merasa kesalahpahaman yang menyangkut sekretarisku terjadi lagi sekarang.

"Aku...." Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi sudah dia duluan. Jadi aku menunggu kalimat selanjutnya dengan diam dan jantung yang berdetak tak karuan.

"Aku... Maaf mengganggu kalian, aku pergi dulu." Yocelyn langsung pergi. Dia pergi dengan air matanya. Aku melihatnya dengan jelas. Tanpa banyak pikir lagi aku langsung mengejarnya.

"Yocelyn!" Aku berteriak memanggil namanya. Tapi dia tidak menggubrisnya. Dia justru mempercepat langkahnya. Namun, begitu pula dengan aku.

"Yocelyn!" Aku berhasil meraih lengan kanannya tepat sebelum ia masuk ke lift.

"Aku bisa menjelaskannya. Apa yang kau dengar tadi... semua itu bukan seperti yang kau kira." Aku memohon padanya.

Ya, memohon. Hal yang jarang kulakukan dan pastinya pertama kali kulakukan hanya karena perempuan di depanku. Perempuan yang sudah berhasil mencuri hatiku dan masuk mengisi ruang hatiku. Perempuan yang mengubah duniaku menjadi lebih berwarna. Dan aku tidak mau kehilangan dirinya hanya karena kesalahpahaman ini. Tidak ingin dan tidak akan.

"Apa? Apa yang ingin kau jelaskan? Bukankah tadi itu sudah jelas?"

Rasanya sakit sekali saat melihat dia berteriak sambil menangis di depanku seperti itu. Aku bahkan jadi merasa lebih bersalah dari sebelumnya.

"Yocelyn... aku... aku minta maaf." Hanya itu yang bisa kuucapkan. Aku tahu mungkin dia tidak mau memaafkanku, tapi tetap saja, aku tetap harus mengatakannya.

"Maaf saja tidak cukup, Devian."

Apa yang kutakutkan untuk kudengar akhirnya terdengar jelas di telingaku. Dia mengatakannya. Kemudian dia melepaskan tangannya dari genggamanku. Ia pergi hingga aku tak bisa melihatnya lagi dibalik pintu besi itu.

Aku benci ini. Aku benci perasaan kehilangan ini. Baru pertama kali kurasakan perasaan yang sebesar ini. Perasaan ingin memilikinya, perasaan ingin mencintainya sepenuh hati, dan perasaan tidak ingin kehilangan dirinya.

Ya Tuhan. Aku tidak ingin kehilangan dirinya. Tapi...
——————————————————————————
Tbc.
Tuesday, 11 February 2020

jadiiiii..... giniiii.... kebenarannyaaa.... dari perspektif Mas Devian🤤

First Love - Bachelor Love Story #2Where stories live. Discover now