• IGATT - 20 •

Start bij het begin
                                    

Waktu pertama kali Benua mengajaknya keluar bersama untuk jalan ke taman hiburan, cowok itu tidak memaksanya untuk menaiki satupun wahana seolah tahu jika Lalisa tidak menyukainya.

Benua bahkan justru mengajaknya untuk menonton pemandangan kota Jakarta dari rooftop gedung perusahaan Ayahnya. ——yang sampai saat ini Lalisa tidak tahu kenapa Beliau masih mau menjadi seorang Ketua yayasan ketika sudah memiliki perusahaan yang sukses—— seolah tahu jika Lalisa menyukai tempat-tempat seperti itu.

Seperti sekarang ini, Benua mengajaknya kesebuah tempat wisata alam yang tenang, entah didaerah mana. Sejujurnya ya, Lalisa sudah tinggal di Jakarta sejak berusia tujuh tahun, namun belum pernah ia ketempat seperti ini. Setahunya, pemandangan berbukit seperti yang ada di depan mereka saat ini ada di daerah Lembang──mungkin.

Beberapa menit telah berlalu dalam keheningan tanpa ada satupun dari keduanya yang memulai obrolan. Lalisa sudah gemas sendiri, kanapa cowok yang biasanya cerewet seperti Benua malah diam saja?

Ditambah lagi beberapa pengunjung yang memperhatikan mereka juga semakin banyak, membuat Lalisa merasa tak nyaman. Oke, Benua memang tampan, termasuk salah satu cowok bertubuh tinggi yang Lalisa kenal bahkan lebih tinggi beberapa cm diatas Alfa, hidungnya mancung,  rambutnya cokelat kehitaman──yang sepertinya bukan bawaan dari cat rambut──dan sedikit memanjang di bagian depan dahinya. Kulitnya putih, hampir serupa dengan warna kulit Lalisa meskipun Benua sedikit agak lebih gelap nyaris tan. Dan jangan lupakan netra yang dimilikinya. Manik matanya yang berwarna cokelat kadang terasa sangat mengintimidasi.

Sangat good-looking untuk ukuran cowok seumurannya──kecuali jika ia termasuk blesteran dan Lalisa tidak terlalu mengetahuinya. Semenjak keduanya tahu tentang masa lalu masing-masing, seperti ada sebuah peraturan tidak tertulis jika obrolan dengan topik keluarga bukanlah hal yang cocok untuk dibahas. Jadi, Lalisa tidak pernah bertanya darimana Benua mendapat semua gen mencolok itu ditubuhnya.

Juga, Lalisa enggan bertanya untuk mencegahnya mengingat kembali tentang sebuah permainan sinting dimasa lalu yang menjadikan semuanya seberantakan ini. Kalau saja semuanya tidak terjadi, mungkin kini Lalisa masih bahagia dengan Alfa. Oke, cukup. Sadar Lisa, sadar. Kau barusaja memuji Benua tapi sekarang sudah membayangkan hal aneh dengan Alfa. 

"Lisa."

Akhirnya.

"Hm."

Lalisa merasa ada yang aneh dengan dirinya.

"Bagus, ya?"

"Hm."

Ia merasa ... Nervous?

"Gue mau ngomong," Lalisa bisa melihat dari sudut matanya jika Benua sempat menyapu rambut yang jatuh di dahinya dengan tangan kanannya.

Cakep, juga.

"Aduh, kok deg-degan gini ya?" Benua terlihat kikuk, beberapa kali menggaruk tengkuknya yang──sepertinya──tidak gatal sama sekali.

"Kalau nggak deg-degan, ya mati."

Sedangkan Lalisa masih berusaha tenang, seolah dirinya baik-baik saja padahal sudah was-was sendiri, jarang-jarang lho Benua yang kerjaannya jahil itu──katanya──mau ngomongin hal yang agak serius gini. Dan, saking was-wasnya Lisa, sampai nggak sadar kalau dirinya sendiri juga deg-degan diluar batas normal daritadi.

"Gue mau kuliah diluar negeri," ucap Benua. "Di suruh ikut Kakak gue di sana."

Cowok itu menghela nafas sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, terlihat tidak bersemangat. "Itu berarti, gue harus pisah sama lo, padahal gue gak mau."

Ice Girl And The TroublemakerWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu