• IGATT - 28 •

1K 193 11
                                    

Jeffrey memutar stir dengan kesal, lalu memaki pada seseorang di sebrang telpon. "Lo kuker banget si, ngapain coba berantem kaya anak kecil begitu? Hah?"

"Dianya yang duluan bikin aing kesel, pri. Udah gitu nyolot lagi."

Malam itu, setelah mengantar Lalisa pulang dan dengan terpaksa mengakhiri acara first date mereka, Jeffrey segera melesat ke Rumah Sakit untuk menjemput Raven yang habis berulah.

Ia langsung terburu-buru begitu sudah memasuki lobi Rumah Sakit, dan berdiri sambil berdecak pinggang ketika melupakan satu hal. "Lo ada di bagian mana?"

"Lo tunggu di lobi lantai satu aja pri, gua masih ada urusan. Nanti gua telpon lagi kalau udah selesai."

Lalu, sambungan terputus. Jeffrey lantas duduk di kursi terdekat sambil mengatur nafasnya. Ia sempat panik sekaligus marah tadi. Kenapa timing- nya nggak pas banget? Ganggu orang jalan aja si Raven mah.

Tepat ketika Jeffrey hendak mengirim pesan balasan dari Lalisa yang menanyakan apakah ia sudah sampai apartemen atau belum, Jeffrey terkejut dengan tepukan singkat di bahunya.

"Jef? Lo Jeffrey kan?"

Cowok itu serta merta berdiri dengan manik yang melebar. "Loh, Lis, ngapain di sini?"

Lalisa yang tak kalah terkejutnya, malah balik bertanya. "Harusnya gue yang nanya gitu. Gue pikir siapa, kok bajunya mirip sama yang lo pake tadi. Ngapain di sini?"

"Nggak penting juga si, Raven abis tubir sama stranger yang lagi kobam. Sekarang lagi di obatin di sini gara-gara mukanya agak bonyok."

Cewek itu serta-merta terbelalak, lalu memukul lengan atas Jeffrey. "Nggak penting darimananya woy?!"

"Iya-iya, maaf deh .."

Perhatian cowok itu lalu terjatuh pada buket bunga aster ungu yang sedang Lalisa pegang. Pertemuan mereka yang kedua di Rumah Sakit saja sudah aneh, memangnya ada urusan apa bagi Lalisa untuk sering-sering ke Rumah Sakit? atau sebenarnya cewek ini mau menjenguk siapa sambil membawa bunga aster malam-malam begini?

"Ah, buket bunganya buat kakak gue." Cewek itu menangkap arti tatapan Jeffrey, lantas melanjutkan. "Beliau koma."

"Maaf, gua ngga bermaksud──"

Lalisa menggeleng ringan, tidak keberatan. "Ngga apa-apa," ia lalu berpikir sebentar. "Kalau gue mau ngejenguk Raven, boleh?"

"Anak itu mah gausah di jenguk juga ngga papa kali," Jeffrey mendengus, "lo nomor satuin kakak lo aja."

Mengenal perangai Lalisa yang bodo amat, Jeffrey kira cewek itu akan setuju dan pergi dari hadapannya sekarang juga. Namun, bukannya pergi ia justru kembali menggeleng. "Gue bisa jenguk besok, sepulang ngampus. Kalau Raven kan bakalan susah buat ketemu lagi."

Cowok itu lalu menggaruk tengkuknya. Ia lupa kalau Lalisa itu keras kepala.  "Gini aja, gimana? Lo jenguk kakak lo dulu, baru ke Raven. Ntar dia yang bakalan nyamperin ke sini kalo urusannya udah selesai."

Jeffrey bisa melihat ketidakpercayaan yang terpantul melalui manik Lalisa, menatap penuh curiga pada cowok itu. Bagaimana jika Jeffrey kabur saat Lalisa pergi?

Yang namanya cowok kan, gabisa langsung dipercaya. Iya nggak?

Ini kalau ada lomba tebak-menebak berpasangan, dua sejoli ini agaknya bakalan menang juara. Melihat sekilas saja, Jeffrey langsung tahu apa yang dipikirkan oleh Lalisa. "Gua gaakan kabur. Sebagai jaminannya, gue ikut ngejenguk kakak lo, deh. Itupun kalau diizinkan."

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
•••

⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀
⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Lalu, di sinilah mereka sekarang. Jeffrey berdiri di depan sebuah jendela kaca yang menampilkan bagian dalam sebuah ruangan, dimana Lalisa sedang ada di dalamnya sembari mengganti bunga Aster dalam vas tepat di sebelah seseorang yang tampak seperti tengah tertidur.

Orang yang berbaring di ranjang dengan pakaian pasien itu adalah laki-laki yang sekilas terlihat baik-baik saja. Yang menjadi pembeda hanya kulitnya yang sepucat kertas dan alat-alat penunjang kehidupan menempel dari ujung kepala sampai kaki.

Awalnya Jeffrey ingin bertanya bagaimana orang itu tetap rapi meski sedang koma. Namun saat melihat Lalisa yang meraih sebuah sisir dari dalam tas dan dengan perhatian menyisir rambut hitam legamnya, Jeffrey mengunci piguranya rapat-rapat.

Cewek itu benar-benar menyayangi Kakaknya ya?

Lalisa memperbaiki posisi tangan kanan Alfa sekilas sebelum akhirnya keluar dari sana. "Maaf ya, lama."

"Lo sayang banget ya, sama kakak lo?" Jeffrey memasukan satu tangannya ke saku celana saat keduanya mulai beranjak sambil berjalan beriringan. "Dia pasti bangga punya adek kaya lo."

"Iya, mungkin?" Lalisa bukan ragu ketika ia menjawab apakah ia sayang pada Alfa atau tidak, tapi yang ia ragukan itu apakah cowok itu bangga memiliki adik tiri sepertinya. Meski Alfa bukan orang pendendam, tapi dia tidak sebaik malaikat.

Sejak awal, keputusannya mengizinkan Jeffrey kemari sepertinya lumayan. Dia tidak banyak bertanya, tidak menunjukan raut kasihan, dan hanya meminta maaf seperlunya. Kalau dipikir-pikir, Jeffrey adalah cowok yang mudah mengerti keadaan di sekitarnya dan tidak menanyakan hal yang terlalu pribadi.

Kalau ada teman ideal versi Lalisa di dunia ini, pasti Jeffrey orangnya.

"Kalau gua punya adek kaya lo, hidup gue selama di rumah pasti makmur. Sayangnya dia itu titisan setan yang cinta mati sama semangka."

"Dia? Maksud lo adek lo?"

Cowok itu mendengus. "Iyalah, siapa lagi. Dia itu mirip gua, meski lebih ganteng gua si. Kalau aja dia kaga ngeselin, pasti makin ganteng."

"Tapi lo sayang sama dia kan, Jef?"

"Tau ngga sih, Lis? Ngomong 'sayang' buat sesama batangan itu kurang enak di denger, tau."

Berbeda dengan Jeffrey yang bergidik, Lalisa serta-merta terkekeh melihat ekspresi aneh yang dihasilkan olehnya. Bagi Lalisa yang tidak pernah punya seorang adik, cerita milik Jeffrey terdengar menarik. "Emangnya adek lo kelas berapa?"

"Seki——"

"Lis, abis jenguk ya?"

Lalisa dan Jeffrey lalu menoleh bersamaan.

ayo ngaku kelyan para kakak, kaya jepri juga kaga?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

ayo ngaku kelyan para kakak, kaya jepri juga kaga?

Ice Girl And The TroublemakerWhere stories live. Discover now