• IGATT - 4 •

3.6K 593 44
                                    


"Tuhan itu adil, mempertemukan mereka dengan keadaan yang sama."

••••

Lalisa mengetuk-ngetukkan sepatunya di lantai ruang musik sambil melipat tangan di dada. Ia ditemani oleh Layla, Jennie dan Rose untuk menunggu Benua seperti yang kemarin dimintanya.

Cewek itu melirik arloji di tangan kanannya. Waktu pulang SMA Kartini sudah berlalu dari 15 menit yang lalu dan Benua belum muncul juga.

"Lalis, Papa gue udah jemput. Gue duluan ya."

Lalisa mengangguk. "Yang udah di jemput pulang aja."

Rose mengepalkan tangannya kearah Lalisa. "Semangat bestie."

Layla dan Jennie ikut mengepalkan tangan mereka. Lalisa terkekeh pelan, lalu ikut mengepalkan tangannya. "Oke, thanks ya."

Sepeninggal para sahabatnya, Lalisa mendekati sebuah piano lalu duduk di hadapannya. Jari-jarinya menyentuh tuts piano yang beraturan dan berwarna hitam putih.

Ia tersenyum kecil, menekan tuts dengan telunjuknya. Lalisa memperbaiki posisi duduknya, dan menyelipkan anak rambut ke telinga lalu mulai menekan tuts piano secara teratur membentuk nada yang beraturan.

Benua, cowok itu sedang berdiri di depan pintu ruang musik, mendengarkan alunan piano yang dibawakan oleh Lalisa. Lalisa membawakan lagu itu dengan baik. Ia tersenyum kecil, lalu mengetok pintu. Permainan Lalisa terhenti, kemudian menoleh kearahnya dengan tatapan kaget yang ditutupi oleh pandangan datar. Cowok itu berjalan dengan santai ke tengah ruangan.

"Lima belas menit."

Benua menggaruk tengkuknya yang tak sama sekali tak gatal.

Lalisa bangkit, lalu mendekati Benua sambil bersedekap dada. "Lo lupa, Ben?"

Benua menggeleng, lalu tersenyum. "Sorry deh Lis. Jadi gue harus ngapain nih biar bisa jadi anggota?"

Kaki Lalisa bergeser ke kiri sebanyak dua kali, memperlihatkan sebuah grand piano di pojok ruangan ke hadapan Benua. Benua mengernyit bingung lalu mengangkat sebelah alisnya.

Lalisa tersenyum tipis sampai Benua tak yakin ia baru saja tersenyum. Ia menunjuk piano tersebut dengan dagunya. "Mainin satu lagu buat gue. Nggak bisa main, nggak ada penerimaan selanjutnya."

Benua menyimpan tas yang menyimpang di bahu kanannya ke atas sebuah kursi, lalu mendekati piano yang Lalisa tunjuk. Pemuda berambut cokelat itu menyentuh piano dengan lembut, didera rasa ragu untuk menyentuh benda ini lagi.

Benda yang mampu mengeluarkan alunan musik sekligus sejuta memori pahit dalam bagian paling belakang kepalanya. Benua mengingat-ingat kapan terakhir kali ia menyentuh bahkan memainkan benda yang tak sudi ia sentuh ini. Tapi sekarang, Lalisa adalah alasan ia memainkannya kembali. Lalisa adalah alasan potongan memori itu muncul lagi.

Benua duduk di hadapan piano, lalu mulai menekan tuts membentuk sebuah irama. Sedangkan disana, Lalisa berdiri kaku. Ia tak tahu kenapa tiba-tiba punggung Benua tak sekokoh biasanya saat mulai memainkan piano.

Di sini ia seperti bisa melihat sisi Benua yang berbeda, bukan Benua berandalan SMA Kartini, tapi Benua yang juga menyimpan lukanya sendiri kala helaan napas terdengar darinya yang masih setia bersenandung. Sungguh, pertemuan mereka memang hanya menghitung hari, tapi untuk ukuran cewek yang cukup peka seperti Lalisa, sangat mudah menebaknya.

Salah. Semuanya tak seperti rencana yang tersusun rapi di otaknya. Semuanya berantakan. Pikir Lalisa, Benua tak akan mampu bermain piano dan malah menimbulkan nada sumbang.

Lalisa berniat merekamnya dan menolak Benua untuk menjadi anggota dengan ancaman jika Benua masih mengganggunya, maka video itu akan disebar luaskan. Tapi ternyata tidak. Benua justru menimbulkan melodi indah yang bisa membuat siapapun jatuh cinta pada pandangan pertama.

Benua mengakhiri permainannya dengan menatap Lalisa. Bibirnya membentuk bulan sabit. "Gue yakin, gue tambah keren pas main piano begini."

Lalisa mendelik. "Ge-er."

Suara tawa pecah saat itu juga. Benua tertawa lepas tanpa alasan yang jelas. Lalisa bergidik ngeri, Benua kerasukan?

Benua berdiri, lalu mengambil tas-nya. "Lalis, gue diterimakan? Iyadong."

Lalisa memutar bola matanya. "Belum."

Benua menoleh cepat, lalu mendekati Lalisa. "Kok belum? Gue kudu ngapain lagi? Ini pendaftaran anggota eskul musik apa masuk kuliah?"

Perempuan itu menggeleng kecil. "Lo harus ngisi formulir dan ikut tes dulu untuk mengetahui lo itu masuk ke bidang yang mana, gue juga masih ragu-ragu buat nerima biang onar kayak lo."

"Tenang, gue bisa jadi orang baik-baik cuman buat lo, Lalis."

Meski mata Lalisa melihat ketulusan dalam tatapan Benua, ia tak mau percaya begitu saja. Seperti kata orang, seekor serigala bisa berkamuflase menjadi lucu untuk membodohi mangsa yang akan ia santap. Lalisa tak mau jadi mangsa dari serigala berkamuflase untuk yang kedua kalinya.

"Gue bilang kemaren, Benua. Gue gak nyaman dengan kehadiran lo yang tiba-tiba mendekat ke gue tanpa alasan yang jelas."

Benua melongo. Bukan, bukan karena sakit hati mendapat penolakan. Tapi karena tiga kali dalam kurung waktu dua hari Lalisa bicara panjang lebar padanya. Meskipun kata-kata yang terlontar seperti sebuah pengusiran untuknya, tapi itu sudah membuatnya senang. Benua menahan dirinya untuk tidak selebrasi.

"Tapi perasaan gue ke lo jelas kan, Lalisa?"

Lalisa memutar matanya. "Buaya darat lo, Ben."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Ice Girl And The TroublemakerWhere stories live. Discover now