• IGATT - 29 •

988 165 5
                                    

"Riri, larinya jangan kenceng-kenceng!"

Gadis kecil itu mencoba berlari sekuat tenaga untuk menyusul seorang bocah laki-laki yang mendahuluinya. Perbedaan kekuatan yang signifikan membuatnya tetap tertinggal lumayan jauh, padahal kakinya sudah mulai sakit.

"Wuuu, dasar anak kecil. Masa gitu doang capek?"

Menghiraukan kenyataan jika keduanya terlahir di tahun yang sama, bocah laki-laki itu tertawa congkak melihat temannya kesulitan untuk menandinginya. Meski kelelahan, dia tetap menampilkan senyum menyebalkan.

Sedangkan si gadis kecil, dengan nafas terengah dan pupil yang berair, menggembungkan pipi kemerahannya dengan kesal. Marah, karena di ejek habis-habisan.

Ia menghentakkan kaki berbalut sepatu pemberian sang Ayah untuk meluapkan emosi, dengan kaus kaki longgar semata kaki yang membatasi. Berbalik, ia berteriak, "Mama, Riri nakaaal! Huhuhu."

Bersamaan dengan teriakan yang nyaring, semua orang dewasa yang mulanya tengah berbincang sontak mengalihkan perhatian padanya, yang berlari pontang-panting disusul bocah laki-laki yang juga berlari di belakangnya.

"Mama, Riri tadi ngejek Lili," adunya ketika sampai di pelukan sang Mama.

"Nggak kok! Dianya aja yang lambat!" bela si satunya.

"Jeffrey, nggak boleh kaya gitu. Siapa yang ngajarin kaya gini?" suara lembut dan tegas menguar ke telinga Jeffrey kecil saat itu. Merasa jika Bundanya tidak membelanya, dia melayangkan tatapan permusuhan pada gadis kecil di depannya.

Dengan mata polos yang berkaca, ia perlahan menunjuk Ayahnya untuk mendapat perhatian Bundanya kembali. "Ayah, yang ngajarin."

Seketika tawa tertahan mengudara, sedangkan si empu yang di tunjuk berubah gelagapan. "Kapan Ayah ngajarin kayak gitu? Kok Ayah nggak inget y--aduh, iya-iya maaf."

Ibu satu anak itu melayangkan cubitan penuh kasih pada sang suami, dengan senyum manis bertengger di bibir dan mengancam lewat mata. Wajah yang kental dengan garis-garis kelahiran orang luar itu lalu mengubah ekspresi ketika menatap putranya. "Nah, sekarang coba Jeffrey minta maaf dulu, kan udah salah."

Jeffrey yang penurut lalu melepaskan pelukannya dari sang Bunda, dan perlahan mengangkat tangannya. "Aku mau minta maaf, Lili maafin aku nggak?"

"Nggak mau!"

Memiringkan kepalanya, ia lalu mengeluarkan sebungkus permen dari saku celana panjangnya. "Kata Ayah anak cewek biasanya suka permen. Kalau Lili maafin aku, nanti aku kasih permen. Nih," lengkungan senyum terpatri di wajah unggulnya yang mungil, dengan dua cerukan di pipinya sebagai pemanis.

'kalau aku minta maaf sambil senyum begini, pasti bakalan di maafin kaya kata Ayah kan?' batinnya.

Yang ditiru tidak perlu ditanya lagi bagaimana reaksinya. Sang Ayah, Jonathan, diam-diam mengulas senyum bangga. Putranya ini benar-benar mirip dengannya.

Tampilan permen yang menggiurkan nampaknya sukses menggerak hati gadis kecil, hingga akhirnya muncul dari pelukan sang ibu. Mengusap cairan yang keluar dari hidung dengan lengan baju, ia mengangguk. "Yaudah, iya. Makasih, ya Riri."

Jeffrey lalu bertukar kedipan mata dengan sang Ayah di belakangnya, dan perlahan maju untuk memeluk gadis kecil itu. "Sama-sama Lili!"

Para orang tua yang menjadi penonton setia drama itu dari awal hingga akhir mengulas senyum sebelum akhirnya saling menatap.

Ice Girl And The TroublemakerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang