30 ‖ Luka di Sudut Bibir

324 55 20
                                    

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Luka di Sudut Bibir

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Entah berapa waktu yang mereka lewati dengan saling berbagi ruangan dalam diam. Tidak ada yang membuka suara setelahnya. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing.

Simfoni yang masih berusaha meredakan tangis, meski sejak tadi tangis perempuan itu sama sekali tak terdengar. Ia menangis dalam diam, tak ingin Beryl tahu. Meski Simfoni tahu hal itu sia-sia, sebab Beryl sudah lebih dulu menangkap tangisnya, tetapi Simfoni tetap tak ingin menunjukannya secara terang-terangan. Bukan Simfoni tidak berusaha berhenti, sejak kedatangan Beryl di kelasnya, Simfoni sudah berusaha menghentikan tangisnya sendiri. Namun, hal itu terasa sulit dilakukan. Hatinya yang kalut tidak bisa ditenangkan begitu saja. Terlalu banyak hal menyesakkan yang membikin Simfoni tidak bisa langsung menghentikan tangisnya detik itu juga. Dia butuh waktu untuk membuat hatinya lebih tenang.

Untungnya, seakan mengerti, Beryl tak mengatakan apa-apa. Laki-laki itu hanya mengambil tempat di seberang bangku Simfoni, lantas bermain game di ponselnya. Hanya sesekali umpatannya terdengar, itu pun ditujukan untuk game yang sedang ia mainkan. Selebihnya, Beryl lebih banyak tak bersuara.

Simfoni sebetulnya malu Beryl mendapatinya menangis seperti ini. Jika bisa, dia ingin Beryl atau siapa pun tak melihatnya dalam keadaan begini. Namun, segalanya tak dapat diubah, kan? Lagi pula, Simfoni juga yang bodoh kenapa tidak menyadari keberadaan Beryl. Padahal, laki-laki itu pasti sudah lama berada di sana.

“Fo, bawa minum nggak? Gue haus.”

Suara Beryl yang tiba-tiba memasuki telinga, membikin Simfoni yang tengah melamun sedikit tersentak. Tangis perempuan itu sudah sepenuhnya reda. Tidak ada lagi isakan atau air mata yang mengalir di pipi. Meski begitu, jejak-jejak tangis masih terlihat. Mata Simfoni sembab, pipi dan hidungnya memerah. Ia lantas menoleh pada Beryl? Tidak menangkap ucapan yang laki-laki. “Apa?”

“Bawa minum nggak? Gue haus,” ulang Beryl. Dia berlagak seakan tak terjadi apa-apa. Dan Simfoni mensyukuri itu. Setidaknya Beryl tidak bertanya apa pun, karena Simfoni sama sekali tak ingin membahasnya.

“Oh....” Simfoni bergumam lantas mengeluarkan botol air minum yang selalu ia bawa di dalam tas. Sayangnya, botol itu sudah kosong. “Habis,” ucapnya kemudian dengan suara yang sedikit sengau.

Beryl mengesah. Ia terdiam beberapa saat sebelum berdiri dan memasukkan ponsel ke dalam saku. Simfoni yang melihat pergerakan Beryl, tanpa sadar ikut mendongak, mengikuti pergerakan laki-laki itu. “Kalo gitu gue turun dulu sebentar.”

“Ber—”

Laki-laki itu tidak memberi kesempatan bagi Simfoni untuk berbicara. Ia langsung melesat meninggalkan kelas, menyisakan tasnya di atas meja bersama Simfoni. Perempuan itu menghela napas. Kenapa tasnya tidak dibawa sekalian? Dia tidak takut barangnya hilang? Atau kalau Beryl lama dan Simfoni memutuskan untuk pulang duluan bagaimana coba?

Ah terserahlah.

Terserah apa yang ingin Beryl lakukan. Simfoni tidak ingin peduli. Kepalanya penuh, dan perihal remeh seperti itu patutnya tidak usah menambah-nambah beban di kepala. Biar saja Beryl melakukan apa yang dia mau.

Simfoni lantas menempelkan wajah pada permukaan meja. Tatapannya tertuju pada jendela di seberangnya, yang mengarah pada halaman belakang sekolah. Pucuk pepohonan terlihat. Daunnya bergerak dibelai angin. Sepertinya, berada di sana jauh lebih nyaman daripada di sini. Setidaknya duduk di sana Simfoni bisa melihat keadaan di luar dengan lebih jelas. Ia juga bisa merasakan semilir angin. AC kelas sudah dimatikan sedari tadi. Dan omong-omong, dibanding angin yang dihasilkan oleh AC, Simfoni lebih suka semilir angin.

Moonstruck | √Where stories live. Discover now