11 ǁ Upaya Mempermainkan

1.3K 146 73
                                    

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Upaya Mempermainkan

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬


Biar Simfoni ingat. Rasanya, semenjak dirinya menjadi siswa di SMA Harapan Nusantara, ia belum pernah mendapat hukuman. Absennya bagus, nilai-nilainya cukup memuaskan, dan dia selalu menaati peraturan yang ada. Bahkan, ketika masa orientasi dulu pun, Simfoni selalu berusaha untuk tidak mencari masalah dan menjadi bulan-bulanan para senior. Hidupnya terlampau lurus dan tertata.

Namun, sepertinya hal itu harus ternoda lantaran keterlambatannya memasuki kelas Bu Fatma tadi. Gara-gara terkunci di ruang musik, Simfoni menjadi telat memasuki kelas. Dan parahnya, Bu Fatma sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk membela diri. Bagi beliau, sekali salah, tetaplah salah. Tidak peduli siapa pun yang melanggar, dia harus mendapat hukuman. Maka di sinilah Simfoni sekarang, berada di luar kelas tanpa diizinkan untuk mengikuti pelajaran.

Satu yang Simfoni syukuri, dirinya tidak disuruh melakukan pose memalukan—seperti berdiri dengan satu kaki sementara kedua tangannya memegang telinga—yang mana mampu menarik perhatian orang-orang.

Simfoni mengembuskan napas. Padahal, seusai Beryl membuka pintu ruang musik tadi, Simfoni gegas menuju kelas, berharap Bu Fatma belum masuk. Nahas, karena rupanya keberuntungan tidak berpihak pada Simfoni. Ya ... memang apa yang Simfoni harapkan dari dirinya yang telat lima belas menit? Sudah barang tentu Bu Fatma telah duduk di kelas. Apalagi beliau terkenal tepat waktu. Tidak ada istilahnya bagi Bu Fatma untuk telat memasuki kelas. Pengecualian jika beliau memiliki urusan yang begitu penting. Dan hal itu langka terjadi.

Mengingat kejadian tadi, Simfoni jadi teringat jika Beryl sempat menahannya, tetapi Simfoni langsung berkilah dan berkata untuk membicarakan apa pun itu yang ingin Beryl bahas nanti ketika pulang sekolah. Dan sekarang, Simfoni justru ragu. Dia juga takut. Takut akan apa yang diinginkan Beryl atas pertolongannya. Bagaimana jika keinginannya aneh-aneh? Bagaimana jika keinginan Beryl malah merugikannya? Dan bagaimana jika apa yang Beryl inginkan adalah sesuatu yang tidak bisa ia lakukan?

Simfoni gelisah kini. Dia menyesali keputusannya tadi.

Seharusnya Simfoni tidak begitu mudah meminta bantuan Beryl. Semestinya ia berpikir dulu sebelum akhirnya bertanya apa mau laki-laki itu. Hanya karena dirinya terjebak, bukan berarti Simfoni bisa berpikir pendek. Bodoh! Jika sudah begini, apa yang bisa Simfoni lakukan? Tidak mungkin dirinya membatalkan janjinya, kan? Walau bagaimanapun, janji adalah hutang. Dan hutang tetap harus dibayar.

Simfoni menundukkan kepala frustrasi, membikin rambutnya yang tidak diikat menggantung di tiap-tiap sisi wajah. Kedua tangan perempuan itu bertumpu di masing-masing sisi tubuh.

Dia harus bagaimana sekarang?

Ingin Simfoni adalah waktu bergerak lebih lambat, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Waktu justru bergerak lebih cepat. Memang begitu, ya? Keinginan kerap kali berbanding terbalik dengan kenyataan. Rasanya pelajaran terakhir baru dimulai beberapa menit lalu, dan kini bel pulang telah berbunyi nyaring, membikin teman-teman sekelasnya yang tadi tampak lemas dan loyo langsung bersemangat. Mereka lekas membereskan peralatan tulis, menunggu dengan tidak sabar Miss Shella keluar kelas. Dan begitu guru muda itu keluar kelas, mereka langsung mengekor semangat ikut memadati pintu, tak peduli jika harus berdesak-desakan di sana. Yang penting mereka segera terbebas dari ruang kelas yang membosankan ini.

Simfoni sendiri belum beranjak ke mana pun. Buku-bukunya bahkan masih berserakan di atas meja, sementara kelasnya perlahan ditinggal satu persatu penghuninya.

Moonstruck | √ [Repost]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt