10 ǁ Pemegang Kendali

1.2K 155 116
                                    

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Pemegang Kendali

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬


"Lo abis berantem?"

Tanya itu terlontar seusai helm yang sejak tadi melingkupi kepala Sastra terlepas. Laki-laki itu menyisir rambut dengan jemari, mencabut kunci, dan berjalan melewati perempuan yang melontarkan tanya barusan. Ia tidak menjawabnya.

Diabaikan, perempuan itu mengejar. "Sas, lo berantem?" ulangnya sekali lagi.

Sastra tetap merapatkan bibir, terus memacu langkah tanpa peduli pada pertanyaan tersebut.

Perempuan itu berdecak, lalu memacu langkah semakin cepat hingga berhasil menghalau langkah Sastra. "Jawab pertanyaan gue," desaknya. "Lo berantem?"

"Enggak."

"Jangan bohong." Mata perempuan itu menyipit penuh tuduhan. "Sudut bibir sama pipi lo memar."

Sastra berdecak. "Kalo lo udah tau, kenapa masih nanya, Grizelle?" tukasnya jemu.

Perempuan yang dipanggil Grizelle itu tak menjawab. Ia justru mengambil satu langkah maju, membuat jaraknya dengan Sastra sedikit menipis. Raut sebal yang sejak tadi terpasang di wajahnya kini meluruh, terganti dengan kekhawatiran di sana. Tangannya terangkat guna menyentuh luka di sudut bibir Sastra. Tampaknya ia tak peduli akan keberadaannya yang masih berada di sekitar area parkir hingga membikin siswa-siswa yang baru datang menjadikan keduanya pusat atensi. "Sakit?" Diusapnya luka itu sebentar, sebelum kemudian ditekan dalam sampai-sampai membuat Sastra meringis nyeri.

"Kira-kira dong, Gi," protes Sastra seraya menyentuh lukanya setelah Grizelle menjauhkan tangan.

Grizelle tersenyum sinis. Raut khawatirnya kini tak lagi bersisa. Ia justru melipat tangan di bawah dada. "Lo kan jagoan. Masa gitu aja sakit. Payah."

Sastra berdecak. Laki-laki itu berniat kembali melanjutkan langkah menuju kelas, mengabaikan Grizelle dan segala cemoohannya. Tetapi, sepertinya perempuan itu tak ingin membiarkan Sastra pergi begitu saja. Ia terus-terusan menghalangi langkah Sastra, tak membiarkannya pergi ke mana pun. Dan hal tersebut berhasil membuat Sastra berdecak untuk kedua kali dalam periode waktu kurang dari tiga menit.

"Lo berantem kapan? Sama siapa? Bukannya semalam muka lo baik-baik aja?"

Sebetulnya Sastra sudah menduga akan hal ini, kecerewetan Grizelle ketika menemukan luka di wajahnya. Ia juga sudah berusaha menghindar. Bahkan ketika menjemput perempuan itu tadi, Sastra sengaja menunggu di luar tanpa melepas helm. Menjejali telinganya dengan segala kecerewetan Grizelle di pagi hari tentu bukan hal bagus. Jadi, seberusaha mungkin Sastra menghindari hal itu. Sayangnya, ketika sampai tadi, Sastra lupa jika seharusnya dia membiarkan Grizelle ke kelas terlebih dahulu sebelum ia membuka helm dan membuat perempuan itu melihat luka-luka di wajahnya.

"Nggak apa, Gi. Bukan hal serius."

"Kalo bukan hal serius, lo nggak mungkin sampai bonyok gini, Sastra." Grizelle menukas tajam.

"Benaran, Gi. Ini cuma luka kecil, bukan hal serius."

Grizelle masih ingin mengonfrontasi, tapi ia tahu hal tersebut sia-sia. Sastra bukan orang yang mudah dipaksa. Malah, semakin dipaksa Sastra justru akan semakin keras kepala. Maka, yang dilakukan Grizelle adalah melunakkan tatapan. Mengalah. Ia mengurai lipatan tangan. "Udah diobatin belum?"

"Udah." Sastra menjawab singkat. "Sekarang mending kita ke kelas, bentar lagi bel." Laki-laki itu memutar pundak Grizelle dan mendorongnya seraya berjalan.

Moonstruck | √Where stories live. Discover now