18 ǁ Berbeda

1K 112 22
                                    

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Berbeda

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Hari ini pelajaran yang berlangsung di kelas Simfoni adalah olahraga. Seharusnya pelajaran itu masih berlangsung hingga empat puluh lima menit ke depan, tetapi berhubung kepala sekolah memanggil guru olahraga Simfoni, jadilah beliau menyuruh murid-muridnya untuk melanjutkan olahraga sendiri dan meminta ketua kelas untuk mengawasi. Mereka kira Pak Andi akan segera kembali, tetapi setelah duapuluh tujuh menit terlewat dan Pak Andi belum juga kembali, mereka mulai bosan lantas memutuskan berpencar dari lapangan.

Simfoni pun melakukan hal yang sama. Ia ikut meninggalkan lapangan. Bedanya, ketika teman-teman Simfoni memutuskan untuk kembali ke kelas atau pergi ke kantin, Simfoni justru membawa kakinya melangkah menuju taman belakang. Pikiran perempuan itu sedang penuh sekarang. Ia butuh suasana sepi, dan Simfoni sedang tidak berminat untuk berada di ruangan tertutup seperti UKS atau ruang musik. Satu-satunya tempat terbuka sepi yang Simfoni tahu adalah taman belakang, dan perempuan itu memutuskan untuk ke sana.

Pohon mangga besar menjadi tujuan utama Simfoni. Ia lekas memanjatnya, lantas mendudukkan diri pada salah satu dahan pohon yang cukup kokoh. Ia memanjat dengan mudah, tanpa sedikit pun ada ketakutan yang terlihat dari wajah. Bisa dibilang, ini bukan lagi hal asing baginya. Sejak dulu, setiap kali Simfoni membutuhkan tempat untuk menyendiri, tempat tinggi atau sunyi selalu menjadi pilihan perempuan itu.

Embusan angin menggoyangkan rambut terikat Simfoni, membuat anak-anak rambut yang tidak masuk ke dalam ikatan menyentuh sisi wajah perempuan itu secara lembut. Simfoni tak tampak terganggu. Perempuan itu justru mengembuskan napas berat, seolah mencoba melepaskan apa yang kini tengah memenuhi dadanya.

Hari ini tepat setahun kakaknya pergi. Suasana rumah yang sudah suram tampak semakin suram. Apalagi sejak kejadian semalam. Ayah belum pulang dan entah menginap di mana. Simfoni takut untuk bertanya pada sang Mama. Jadi, perempuan itu menutup rapat bibirnya.

Simfoni juga tahu pasti sang Mama mengingat hari ini. Wajah mamanya tadi pagi tampak lebih mendung, apalagi ketika melihat Arlo. Matanya berkaca-kaca, seolah siap menangis kapan saja. Untuk itu Simfoni tidak mengatakan apa pun. Ia hanya sarapan dalam diam. Tidak ingin membuat mamanya semakin sedih.

Demi menghindari kesedihan yang kian pekat mengendap dalam diri, Simfoni memutuskan untuk segera berangkat ke sekolah meskipun sarapannya belum habis. Biasanya mama akan marah jika Simfoni tidak menghabiskan makanannya, tetapi untuk kali ini wanita itu tak mengatakan apa-apa. Ia hanya mengangguk, dan berkata hati-hati dengan suara parau.

Simfoni kira berada di sekolah sanggup membuatnya menghilangkan perasaan yang sejak tadi menggelantungi hati, tetapi rupanya tidak. Seberapa pun Simfoni berusaha membuat dirinya baik-baik saja, hal itu tak berarti apa-apa. Ia tidak baik-baik saja. Ada sesak yang kini menghimpit hati Simfoni, membuat dadanya menyempit oleh gelombang tak mengenakan hingga sanggup mengundang luapan rasa hangat di kelopak mata.

Seandainya tidak ada kerikil yang dilempar secara keras ke lengan atas Simfoni, mungkin perempuan itu sudah menangis sekarang. Namun, alih-alih menangis, Simfoni justru mengaduh.

"Woy! Lo bukan Tarzanwati apalagi Mbak Kunti, ngapain duduk-duduk di atas pohon?"

Simfoni merunduk, membiarkan retina matanya menangkap keberadaan Beryl di bawah sana. Simfoni tidak tahu apakah latihan basket juga dilakukan di jam pelajaran seperti sekarang atau tidak, tetapi seragam basket hitam bercorak orange yang membalut tubuh laki-laki itu cukup memberitahu Simfoni jika Beryl baru saja berkegiatan dengan bola basket. Sebuah ketapel berada dalam genggaman tangan, yang Simfoni asumsikan telah laki-laki itu gunakan untuk melempar kerikil padanya. Entah dari mana laki-laki itu bisa mendapatkan benda tersebut.

Moonstruck | √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang