BAB 29 :. Keluarga Dimas

Start from the beginning
                                    

Salsha mengernyitkan keningnya. Kalau boleh Salsha percaya diri, dialah yang disukai Dimas saat ini, tapi entah dia juga tidak yakin semenjak malam makrab beberapa hari lalu. "Gak ada kayaknya."

Pintu lift terbuka, dua perempuan itu berjalan keluar sembari menatap rumah sakit yang masih sepi karena baru jam setengah enam pagi. "Maaf ya Kak. Aku jadi tanya-tanya gini."

"Gak apa-apa. Namanya juga keluarga."

Ratih menatap Salsha sembari mengulas senyumnya. "Soalnya aku gak begitu dekat sama Kak Dimas."

"Kenapa?"

"Kita saudara tiri, Kak. Ayah Kak Dimas nikah sama Mama." Salsha membulatkan bibirnya, entah dia harus merespon bagaimana. "Dan ... ibu kandungnya Kak Dimas juga nikah lagi."

"Terus ... Papa kandung kamu?"

"Sudah meninggal dari aku umur sepuluh atau sebelas tahun kayaknya."

"Maaf, aku gak bermaksud-"

"Gak apa-apa, Kak. Sudah lama juga kejadiannya."

Mereka berdua sampai di kantin, keduanya langsung menemukan Dimas yang duduk sambil menatap kosong kaleng cola yang belum terbuka.

"Kak?" panggil Ratih membuat Salsha menoleh pada perempuan berambut panjang itu. "Aku ke kamar mandi sebentar ya? Kak Salsha temenin Kak Dimas dulu aja."

"Oh, iya-iya. Hati-hati."

Ratih terkekeh. "Di situ doang Kak, gak pakai nyebrang jalan kok," candanya.

Salsha hanya menggelengkan kepala, meskipun begitu Ratih tetap terlihat seperti adik kandung Dimas. Perempuan itu melangkah mendekati Dimas, menarik kursi di samping laki-laki itu dan duduk di sana.

Dimas melirik Salsha sejenak. "Adik gue mana?"

"Ke kamar mandi."

"Oh." Dimas mengambil kaleng colanya lalu menarik penutup dan menegak isinya. "Dia pasti tanya-tanya ke elo ya?" tanyanya seraya menatap Salsha. "Emang kepo itu anak, biarin aja."

"Khawatir lebih tepatnya."

"Sok tau."

Salsha menganggukan kepalanya mantap. "Kelihatan Dim, lo gak pernah ngobrol pakai hati sih, mulut doang yang gerak. Hati kagak."

"Norak."

"Serah lo, deh!"

Tepat setelah itu, Ratih kembali sambil menatap keduannya dengan bingung. Perempuan berumur delapan belas tahun itu menarik kursi di samping Dimas dengan hati-hati karena merasa suasananya sedang tidak baik.

Salsha sendiri memilih memainkan ponselnya. Dimas menyodorkan colanya pada Ratih. "Udah makan belum?"

"Belum," kata Ratih kembali menyodorkan cola pada Dimas. "Nanti sakit perut dong Kak, kalau aku minum cola."

"Emang iya?"

Salsha menggelengkan kepala. 'Mentang-mentang jago minum,' batinnya.

Mereka bertiga kemudian diam. Yang tadinya beralasan lapar pun sama sekali tidak memesan makan. Pikiran Dimas hanya tertuju pada ibunya yang tengah berbaring di rumah sakit.

"Papa bentar lagi pulang, Kak."

"Hm."

"Gak mau ketemu Papa?"

Dimas menggeleng. "Buat apa?"

Ratih menghela napas berat. "Kak, seenggaknya Kak Dimas ketemu sama Papa sekali. Harapan aku sama Nenek cuma Kakak. Papa gak dengerin kita, Kak."

Dimas mengetuk-ketukan jarinya di atas meja. "Dari dulu gue udah nyuruh Mama ceraiin itu cowok, kan?"

"Kak-"

"Udah tau dikasarin masih aja dipertahanin. Kalau udah gini gimana?" Dimas mencengkram kaleng cola erat. "Dia itu sakit, Rat! Lo paham gak, sih?"

"Tapi Kak, Mama kan-"

"Apa? Mama masih sayang sama Alfredo?" Dimas menggelengkan kepala. "Bullshit! Gak ada orang yang sayang sama cowok kasar kayak gitu!"

Salsha menatap Dimas. Dia bisa melihat bermacam ekspresi di wajah Dimas sedih, khawatir, dan marah.

"Mama butuh Kak Dimas, Mama juga butuh Papa. Papa juga gak sengaja kok nge-"

Dimas menyandarkan punggungnya. "Geli gue denger lo manggil dia Papa. Dia bokap lo? Dia pernah baik sama lo? Gue yang anak Mama aja gak pernah anggap dia, Rat! Gue tau lo orang baik, tapi gak usahlah baik-baikin dia!"

Ratih meraih tangan Dimas. "Kak, gak gitu caranya."

Dimas menarik tangannya sembari berdecak keras. "Terus dia pilih siapa? Dia pilih anaknya kan daripada Mama? Dia pilih bunuh Mama kan, Rat?!"

About DimasWhere stories live. Discover now